Selasa, Juni 21, 2016

Perencanaan Pendidikan Untuk Meningkatkan Sekolah Efektif


A.    Latar Belakang
Dalam Undang-Undang RI No 20 tahun 2003 tebtang Sistem Pendidikan Nasionalpasal 1 ayat 1, diungkapkan yang dimaksud dengan pendidikan adalah: “usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar pserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara” (UU RI No 20 Tahun 2003) dari defenisi pendidikan tersebut, dengan jelas terungkap bahwa pendidikan indonesia adalah pendidikan yang usaha sadar dan terencana, untuk mengembangkan potensi individu demi tercapainya kesejahteraan pribadi, masyarakat dan negara.
Dari definisi pendidikan di atas dapat menjadi pijakan kita bahwa, sutu proses pendidikan ternyata harus diawali dari proses perencanaan yang sepenuhnya di susun dengan penuh pertimbangan. Dengan demikian pada level apapun dalam implementasi pendidikan maka proses peencanaan merupakan fokus kegiatan yang tidak boleh dilupakan. Karena semua yang ingin kita lakukan, sewajarnya harus diawali dari sebuah perencanaan. Sehingga dapat dimaknai secara sederhana, seperti yang dikemukakan Guruge (1972) dalam Martin (2013: 10) bahwa perencanaan pendidikan didefinisikan sebagai “the process of preparing decicions for action in the future in the field educational development” (proses mempersiapkan keputusan-keputusan untuk kegiatan masa depan di bidang pembangunan pendidikan). Jadi membuat perencanaan pendidikan artinya menyusun lebih awal apa yang ingin dilakukan pada waktu yang akan datang untuk mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan. 
Perencanaan dalam dunia pendidikan atau lebih khusus pada lembaga sekolah, berarti harus didasarkan pada tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Setidaknya dalam pendidikan nasional kita, dikenal ada beberapa tujuan yaitu; tujuan pendidikan nasional, tujuan institusional, tujuan kurikuler, dan tujuan instruksiona. Tujuan nasional pendidikan merupakan tujuan yang paling umum, yang merupakan pandangan idel dari negara tetang sosok manusia indonesia yang akan dihasilkan melalui proses pendidikan yang dilalui. Tujuan institusional merupakan tujuan yang diamanatkan kepada masing-masing unit pelaksanan pendidikan; mulai dari perguruan tinggi, sekolah menengah atas/sekolah menengan kejuruan, sekolah menengah pertama, sekolah dasar, dan lain-lain. Sementara tujuan kurikuler adalah tujuan yang berikan kepada setiap mata pelajaran yang diajarkan kepada siswa. Tujuan instruksional adalah merupakan tujuan dari satuan pembelajaran, yang terdapat pada setiap satuan pengajaran yang dilakukan oleh guru kepada siswa.
Menjadi jelas bahwa, perencanaan yang dibuat dalam rangka pelaksanaan proses pendidikan tidak lain adalah sebagai landasan utama untuk menuju pada tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Sehingga lumrah adanya jika perencanaan yang baik, akan menjadi landasan yang baik pula untuk mewujudkan tujuan-tujuan pendidikan tersebut. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa perencanaan yang bermutu akan menjadi pendukung perwujudan dari suatu sekolah yang bermutu.
Salah satu istilah populer yang lain dari sekolah bermutu adalah sekolah efektif, yaitu sekolah yang mampu mewujudkan seluruh programnya kerjanya secara maksimal sesuai dengan tuntutan perencanaan program yang telah ditetapkan sebelumnya Menurut E. Mulyasa (2013: 61) bahwa diantara sekian aspek yang perlu diperhatikan dalam menciptakan sekolah efektif, yang pertama sekali adalah perencanaan pengembangan sekolah. Oleh karena itu maka kualitas isi maupun proses perencanaan pengembangan sekolah merupakan suatu hal yang mesti diperhatikan dalam mewujudkan sekolah efektif.
Selanjutnya dalam rangka perencanaan pengembangan sekolah hal yang terpenting juga adalah mengenai mekanisme penyusunan rencana pengembangan sekolah tersebut. Salah satu yang perlu mendapat perhatian, khususnya di tingkt sekolah penyusunan rencana sekolah harus melibatkan semua pihk yang berkepentingan. Apalagi dengan adanya perkembangan dalam bidang manajemen pendidikan nasional akhir-akhir  ini, dimana banyak kewenangan pusat telah didesentralisasikan ke pihak sekolah sendiri. Hal ini dikenal dengan istilah Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Ternyata tren ini juga tidak hanya berlaku di Indonesia, tetapi juga telah lama berkembangan di tempat lain di dunia, seperti yang yang dikemukakan Leggate dan Thomson (1997) dalam artikelnya bahwa:

“With the move to decentralization of systems of education worldwide, and the deployment of centrally prescribed curricular frameworks managed and interpreted regionally and locally, there has become evident a growing need for the design and adoption of clear plans for action at the individual school level.”

Penjelasan tersebut di atas dapat diterjemahkan secara sederhana: bahwa dengan semakin banyaknya desentralisasi sistem pendidikan di seluruh dunia, dan penempatan kerangka kerja kurikuler terpusat ditentukan dikelola dan ditafsirkan secara regional dan lokal, ada telah menjadi jelas peningkatan kebutuhan untuk merancang dan penerapan rencana yang jelas untuk tindakan di tingkat sekolah masing-masing.
Hal senada juga disampaikan oleh Davies dan Ellison (1998), yaitu:
“How-ever, the move to school-based management and greater autonomy has increased the need for schools to take on a wider planning role and responsibil-ity.”

Dengan demikian bahwa berlakunya manajemen berbasis sekolah dan otonomi yang lebih besar telah meningkatkan kebutuhan bagi sekolah untuk mengambil peran perencanaan yang lebih luas dan tanggung jawab.
Dengan demikian bahwa, dengan adanya desentralisasi pendidikan melalui konsep MBS maka peran sekolah dalam menyusun berbagai rencana program kegiatan sekolah tidak dapat dihindari. Oleh karena itu lembaga sekolah haru mampu menyusun perencanaan sekolah yang berkualitas, dalam rangka mewujudkan tujuan sekolah yang komprehensif.
Disamping itu juga mekanisme penyusunan perencanaan sekolah juga harus menjadi perhatin, salah satunya yakni penyusunan perencanaan harus dilakukan secaraa demokratis, yang melibatkan seluruh warga sekolah dan pihak lainnya yang mengelola sekolah tersebut.
Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Michael Hess, Jerry Johnson dan Sharon Reynolds (2014) yang mengemukakan dalam artikelnya tentang sebuah model pengembilan keputusan yang dikenal dengan istilah “Developmental Democratic Planning (DDP)”. Pada model pembangunan perencanaan demokratis ini mengandung pemahaman sebagai berikut:
“Model frames educational planning as a process that extends beyond the immediate focus of a particular planning effort to acknowledge and cultivate the potential of all members of the organization to fulfill their roles as active participants in the democratic life of the organization.“

Jadi model penyusunan rencana ini adalah upaya perencanaan khusus untuk mengakui dan mengembangkan potensi semua anggota organisasi untuk memenuhi peran mereka sebagai peserta aktif dalam kehidupan demokrasi organisasi. Model ini merupakan upaya perencanaan pendidikan sebagai wahana untuk memberlakukan perubahan organisasi.
Disisi lain penyusunan perencanaan sekolah, sangat penting artinya jika dikaitkan dengan adanya tuntutan perubahan kebutuhan masyarakat selaku “pelanggan” sekolah. Perubahan kebutuhan hidup masyarakat secara umum, akan mengakibatkan tuntutan masyarakat terhadap peran sekolah dalam mendidik siswa juga akan berubah. Hal ini seperti di kemukanan Hopkins (1994) dalam Leggate dan Thomson (1989), yaitu:
“Development planning is a response to the management of multiple innovations and change, and the perceived need for a systematic and whole school approach to planning, especially where schools are expected to be more self-managing. “

Menurut Hopkins bahwa pengembangan perencanaan adalah merupakan respon dari pengelolaan beberapa inovasi dan perubahan, serta kebutuhan yang dirasakan untuk pendekatan sistematik dan secara keseluruhan di sekolah untuk perencanaan, terutama di mana sekolah diharapkan untuk lebih mengelola diri.
Oleh karena itu posisi perencanaan pendidikan di sekolah akan sangat penting sebagai landasan bagi sekolah dalam memenuhi tuntutan perubahan yang menyertai kehidupan masyarakat. Pada posisi ini maka peranan perencanaan pendidikan akan sangat sentral bagi terciptanya sekolah yang efektif, yaitu sekolah yang selalu siap untuk memenuhi dan menyongsong penyesuaian pemenuhan terhadap tuntutan perubahan masyarakat di sekitarnya.
Jadi dengan demikian maka sekolah yang menginginkan menjadi sekolah yang efektif melalui perencanaan pendidikan, perlu memahami berbagai hal yang terkait dengan proses penyusunan perencanaan yang baik seta memahami bagaimana esensi dari perwujudan sekolah efektif itu.


B.    Pengertian perencanaan pendidikan.
Yati Siti Mulyati dan Aan Komariah (2011: 93) menjelaskan bahwa merencanakan adalah membuat suatu targer-target yang akan dicapai atau diraih di masa depan, dalam organisasi merencanakan adalah suatu proses memikirkan dan menetapkan secara matang  arah, tujuan dan tindakan sekaligus mengkaji berbagai sumber daya dan metode/teknik yang tepat.
Sutomo (2004) mengatakan bahwa perencanaan pada dasarnya menentukan kegiatan yang hendak dilakukan pada masa yang akan datang. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengatur berbagai sumber daya agar hasil yang dicapai sesuai dengan yang diharapka.
Selanjutnya Kaufman (1972: 38) dalam Sutomo (2004: 12) mengatakan bahwa perencanaan adalah proses penentuan tujuan atau sasaran yang hendak dicapai dan menetapkan jalan serta sumber daya untuk mencapai tujuan itu seefektif mungkin dan seefisien mungkin.
Dari beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa perencanaan atau merencanakan adalah membuat atau menentukan suatu targer-target atau sasaran yang hendak dilakukan pada masa yang akan datang, dan menetapkan atau mengatur jalan serta mengatur sumber daya yang dibutuhkan  untuk mencapai tujuan yang diharapkan seefektif dan seefisien mungkin.
Jadi dengan demikian pada proses perencanaan setidaknya ada tiga hal yang dilakukan yaitu: (1) penetapan target atau tujuan yang ingin dicapai, (b) pemilihan tindakan atau progran yang dilakukan untuk mencapai tujuan dan (c) mengidentifikasi dan pengerahan sumber daya yang jumlahnya terbatas (Fattah, 1964: 49 dalam Sutomo, 2004: 12)
Dalam konteks pendidikan, Guruge (1972) dalam mendefinisikan perencanaan pendidikan sebagai “the process of preparing decisions for action in the future in the field of educaional development” (proses mempersiapkan keputusan-keputusan untuk kegiatan masa depan di bidang pembangunan pendidikan). Sementara Albert Weterston dalam Don Adams (1975) menjelaskan konsep perencanaan pendidikan sebagai “fungsional planning involves the aplication choices among feasible cources of educational investment and the other deflopment actionts based on a considerations of economic and social cost and benefits”  (fungsi perencanaan yang berkaitan dengan menentukan pilihan-pilihan diantara berbagai alternatif yang ada berdasarkan kelayakannya dalam investasi pendidikan dan kegiatan-kegiatan pembangunan lainnya dengan mempertimbangkan faktor ekonomi dan sosial serta keuntungan-keuntungan yang mungkin diperoleh). Philip H. Combs dalam (Djumberansyah, 1990) dilain pihak, menjelaskan perencanaan pendidikan sebagai: “suatu penerapan yang rasional dari analisis yang sistimatis proses perkembangan  pendidikan dengan tujuan agar pendidikan itu lebih efektif dan efisien sesuai kebutuhana dan tujuan siswa dan masyarakat” (Martin, 2014: 10).
Fattah (1996: 50) dalam Sutomo (2004: 12) mengatakan bahwa perencanaan pendidikan adalah keputusan yang diambil untuk melakukan tindakan selama waktu tertentu (sesuai dengan jangka waktu perencanaan) agar penyelenggaraan sistimpendidikan menjadi lebih efektif dan efisien, serta menghasilkan lulusan yang bermutu, dan relevan dengan kebutuhan masyarakat.
Dari beberapa pengertian di atas maka dapat diambil beberapa unsur yang terkandung di dalam perencanaan pendidikan, yaitu: (1) dalam perencanaan pendidikan itu mempersiapkan keputusan-keputusan yang akan dilakkan, (2) dalam perencanaan pendidikan terdapat analisis-nalisis yang rasional dan sistimatis terkait dengan pemilihan alternatif dari keputusan-keputusan itu, (3) dalam perencanaan endidikan terkandung makna pengembangan pendidikan dimasa depan dan (4) dalam perencanaan pendidikan harus memperhitungkan pencapaian sasaran atau tujuan secara efektif dan efisien.
Dalam konteks yang lebih spesifik yaitu sekolah, maka perencanaan pendidikan di sekolah dapat kemukakan pengertiannya sebagaimana pendapat Davies and Ellison (1992 dalam Brent Davies Linda Ellison (1998), dalam artikelnya yang berjudul "Futures and strategic perspectives in school planning", bahwa tujuan perencanaan sekolah “provide a strategic picture of where the school is, where it is going and how it intends to get there” (memberikan suatu gambaran yang strategis keberadaan sekolah ini, di mana dia pergi dan bagaimana cara mereka berniat untuk sampai ke sana).



C.    Tujuan dan Fungsi Perencanaan Pendidikan.
Menurut Y. Dror dalam Djumberansyah (1990) dan dalam Udin dan Abin (2005) tujuan perencanaan pendidikan adalah “untuk mereformasi pendidikan, yaitu suatu proses dari status sekarang menuju ke status perkembangan pendidikan yang dicita-citakan”. Sementara itu, Philip H. Coombs menjelaskan tujuan perencanaan pendidikan  adalah “agar pendidikan lebih efektif dan efisien sesuai dengan kebutuhan dan tujuan peserta didik  dan masyarakat”. Sedangkan Djumberansyah (1990) menjelaskan bahwa tujuan perencanaan pendidikan adalah untuk: (Martin, 2014: 14-15)
  1. Menyusun kebijaksanaan dan menggariskan strategi pendidikan yang sesuai dengan kebijakan pemerintah (menyusun alternatif dan prioritas kegiatan) yang menjadi dasar pelaksanaan pendidikan pada masa yang akan datang dalam upaya pencapian sasaran pembangunan pendidikan.
  2. Menginvestasikan biaya pendidikan seefisien mungkin.
  3. Ditambahkan Udin Syaefudin Sa’ud dan Abin Syamsudin Makmun (2005):
  4. Mencapai efisiensi pada proses penyelesaian masalah dan memerlukan paling sedikit tiga tujuan yaitu: menegaskan kebenaran, menentukan serangkaian tindakan, dan membujuk yang membutuhkan.
Sementara itu Jusuf Enoch dalam bukunya yang berjudul Dasar-dasar Perencanaan Pendidikan,  menggariskan tujuan perencanaan pendidikan adalah “untuk mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien dengan upaya yang optimal”. Selanjutnya Endang Sunarya (2000) merinci tujuan perencanaan pendidikan seperti berikut: (Martin, 2014: 15-16)
  1. Untuk mencari kebenaran atau fakta-fakta yang diperoleh untuk disajikan agar dapat diterima oleh berbagai pihak.
  2. Untuk menentukan tindakan yang akan dilakukan yang berorientasi ke masa depan.
  3. Untuk meyakinkan secara rasional pihak-pihak tertentu yang berkepentingan terhadap pendidikan.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpukan bahwa tujuan perencanaan pendidikan pada intinya adalah untuk:
  1. Mengembangkan pendidikan agar menjadi lebih baik dan lebih sesuai dengan tuntutan kebutuhan siswa dan masyarakat.
  2. Mengarahkan tindakan-tindakan yang lebih tepat, karena didasarkan pada kebenaran dan fakta-fakta yang dipertimbangkan dan  dianalisis secara mendalam.
  3. Agar dapt mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien dengan upaya pemanfaatan sumberdaya yang optimal.
Adapun fungsi dari perencanaan, secara umum menurut Yati Siti Mulyati dan Aan Komariah (2011: 93) bahwa keberadaan suatu rencana  sangat penting bagi organisasi, karena perencanaan berfungsi untuk:
  1. Menjelaskan dan merinci tujuan yang ingin di capai.
  2. Memberikan pegangan dan menetapkan kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut.
  3. Organisasi memperoleh standar sumber daya terbaik dan mendayagunakannya sesuai dengan tugas pokok fungsi yang telah ditetapkan.
  4. Menjadi rujukan anggota organisasi dalam melaksanakan aktivitas yang konsisten prosedur dan tujuan.
  5. Memberikan batas kewenangan dan tanggung jawab bagi seluruh pelaksana.
  6. Memonitor dan mengukur berbagai keberhasilan secara intensif sehingga bisa menemukan dan memperbaiki penyimpangan secara dini.
  7. Memungkinkan untuk terpeliharanya persesuaian antara kegiatan internal dengan situasi eksternal.
  8. Menghindari pemborosan.
Dengan demikian maka secara sederhana dapat disimpulkan bahwa fungsi perencanaan dalam suatu organisasi adalah proses merumuskan tujuan-tujuan, menetapkan sumber daya yang dibutuhkan, menetapkan tugas dan kewenangan, dan menetapkan pilihan terhadap teknik atau metode yang dipakai untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Menurut H.M. Djumberansyah Indar (1990) dalam Martin (2014: 18) mengemkakan bahwa fungsi dan peranan perencanaan pendidikan adalah:
  1. Sebagai alat untuk mengarahkan kegiatan pendidikan.
  2. Sebagai pedoman bagi pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang ditujukan kepada pencapaian tujuan pembangunan pendidikan.
  3. Sebagai alat untuk memperkirakan atau forecasting hal-hal dalam masa pelaksanaan yang akan dilalui.
  4. Memberikan kesempatan untuk memilih berbagai alternatif cara terbaik.
  5. Sebagai alat untuk menyusun skala prioritas (memilih urutan-urutan dari segi pentingnya suatu tujuan, sasaran, maupun kegiatan usahanya).
Sedangkan menurut Endang Sunarya (2000) diungkapkan bahwa fungsi dan peranan perencanaan  pendidikan adalah untuk: (Martin, 2014: 18)
  1. Melakukan tugas penelitian, pemrograman, pendisainan, penyusunan program, perancangan konsep keputusan, dan sebagainya.
  2. Mengadakan komunikasi dengan klien yang dilayani.
  3. Mengenal misi, tugas, dan fungsi organisasi yang dilayaninya.
  4. Berorientasi pada pemecahan masalah yang dihadapi.
Menurut Martin (2014: 19) menyimpulkan berdasarkan berbagai pendapat para ahli bahwa fungsi dan peranan perencanaan pendidikan adalah sebagai berikut:
  1. Sebagai pedoman bagi pelaksanaan kegiatan pembangunan pendidikan.
  2. Sebagai alat pengendalian pembangunan pendidikan.
  3. Sebagai alat untuk menjamin mutu pembangunan pendidikan.
  4. Sebagai alat pencapaian tujuan tujuan pendidikan secara efektif dan efisien.
  5. Sebagai sarana untuk menjamin kelancaran pencapaian tujuan pembangunan pendidikan.
  6. Sebagai sarana untuk memperjelas visi, misi, dan strategi pembangunan pendidikan.
  7. Sebagai alat yang logis dan sistimatis untuk mengubah sistem pendidikan ke arah yang lebih baik.
Sementara itu implementasinya pada tingkat sekolah, maka perencanaan pendidikan di tingkat sekolah dalam bentuknya yang berupa rencana pengembangan sekolah (RPS) disusun dengan tujuan untuk: (http://cak-a6.blogspot.co.id/2011/02/proses-penyusunan-rencana-pengembangan.html)
  1. Menjamin agar perubahan/tujuan sekolah yang telah ditetapkan dapat dicapai dengan tingkat kepastian yang tinggi dan resiko yang kecil.
  2. Mendukung koordinasi antar pelaku sekolah.
  3. Menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antar pelaku sekolah, antar sekolah dan dinas pendidikan kabupaten/kota, dan antar waktu.
  4. Menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan.
  5. Mengoptimalkan partisipasi warga sekolah dan masyarakat, dan
  6. Menjamin tercapainya penggunaan sumber-daya secara efisien, efektif, berkeadilan dan berkelanjutan.
  7. Sebagai dasar ketika melaksanakan monitoring dan evaluasi pada akhir program
Dari beberapa tujuan perencanaan pendidikan di atas, maka dapat diambil sebuah kesimpulan sederhana bahwa fungsi dan peranan perencanaan pendidikan adalah sebagai pedoman, alat dan penetapan sasaran, dalam rangka mengelola pendidikan yang efektif dan efisien. artinya bahwa:
  • Perencanaan pendidikan dijadikan sebagai pedoman bagi seluruh pelaku pendidikan dalam menjalankan seluruh proses pendidikan dari awal sampai akhir.
  • Perencanaan pendidikan harus dijadikan sebagai alat untuk menjalankan seluruh proses pendidikan, karena dalam perencanaan pendidikan telah ditetapkan spesifikasi alternatif yang dipertimbangkan secara matang.
  • Perencanaan pendidikan harus dijadikan sebagai tolak ukur dari tercapainya tujuan atau sasaran pendidikan yang efektif dan efisien.

D.    Pengertian Sekolah Efektif.
Sekolah efektif dalam bahasa Inggris berasal dari dua kata, yaitu effective dan school.  Makna efektif merujuk pada kemampuan menghasilkan sesuatu atau mampu mencapai tujuan.  Efektivitas merupakan ukuran yang menyatakan sejauh mana sasaran atau tujuan (kualitas, kuantitas dan waktu) telah dicapai.
Beberapa definisi sekolah efektif akan dikemukakan di bawah ini: (http://rukmant.blogspot.co.id/p/blog-page.html)
  1. Sekolah efektif memiliki pengertian yang berbeda dengan efektivitas sekolah. ACT Council of P&C Associations (2007) mendefinisikan sekolah efektif sebagai “those that successfully progress the learning and development of all of thei students”. Definisi diatas dapat dimaknai bahwa sekolah efektif adalah sekolah yang mampu meningkatkan belajar peserta didiknya dan mengembangkan semua siswa yang ada di sekolah tersebut secara sukses.
  2. Sammons, Hilmans and Mortimore (1995: 3) mendefinisikan sekolah efektif sebagai: “one in which pupils progress further than might be expected from consideration of its intake. In other word an effective schools adds extra value to its students outcome in comparison  with other schools serving similar intakes. By contrast an ineffective school is one in which students make less progress than expected given their    characteristic at intake”.
  3. Definisi dari Sammons, Hilman dan Mortimore ini dapat dipahami bahwa sekolah efektif merupakan satu hal dimana kemajuan para siswa lebih baik dari kondisi yang biasa diharapkan. Atau sekolah efektif itu sekolah yang memberikan nilai lebih pada peserta didiknya dibandingkan sekolah lain yang memiliki karakteristik yang sama.
  4. Sekolah efektif adalah sekolah yang menjalankan fungsinya sebagai tempat belajar yang paling baik dengan menyediakan layanan pembelajaran yang bermutu bagi siswa siswinya. (Joni Ukat, 2008 : 1). Pengertian umum sekolah efektif juga berkaitan dengan perumusan apa yang harus dikerjakan dengan apa yang telah dicapai. Sehingga suatu sekolah akan disebut efektif  jika terdapat hubungan yang kuat antara apa yang telah dirumuskan untuk dikerjakan dengan hasil-hasil yang dicapai oleh sekolah, sebaliknya sekolah dikatakan tidak efektif bila hubungan tersebut rendah (Getzel, 1969).
Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa sekolah efektif merupakan sekolah yang mampu  mewujudkan tujuan pembelajaaran di sekolah secara maksimal kepada peserta didik yaitu mampu mewujudkan pengembangan kemampuan siswa yang berkualitas tinggi, sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan dengan memanfaatkan seluruh sumber daya yang ada secara maksimal. Sekolah efektif akan sangat berbeda kualitasnya dengan sekolah lain yang tidak efektif, walaupun memiliki sumber daya pendukung yang relatif sama.


E.    Ciri-ciri Sekolah Efektif.
Berikut akan dikemukakan pendapat dari kesimpulan dari Aubrey H. Wang, Alyssa M. Walters  dan Y.M. Thum (2012) yang didasarkan pada pendapat beberapa peneliti sebelumnya, yaitu:
“Over the past three decades, numerous research studies have outlined characteristics of effective schools (see Hofman and Hofman, 2011; Purkey and Smith, 1983; Sammons et al., 2011; Sammons et al., 2011; Taylor et al., 2000). Based on a review of the most notable empirical studies of effective schools serving high-risk and low-income students, a framework that included the following five inter-related characteristics was developed. It included strong learning environment, strong instructional leadership, high staff morale, evidence-based decision making, and high level of teacher efficacy. While the list was not exhaustive, these characteristics guided the subsequent data collection and analyses. Each of these characteristics was described briefly below”.

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa ciri-ciri sekolah efektif itu ditandai dengan hal-hal sebagai berikut: lingkungan yang kuat belajar, kepemimpinan instruksional yang kuat, staf yang memiliki semangat tinggi, pengambilan keputusan berbasis fakta/data, dan guru yang memiliki kemampuan tingkat tinggi.
Lebih lanjut Aubrey H. Wang, Alyssa M. Walters  dan Y.M. Thum (2012) menjelaskan lebih rinci mengenai lima ciri sekolah efektif di atas sebagai berikut:
  • Sekolah dengan lingkungan belajar yang aman adalah sekolah yang mencakup lingkungan aman dan tertib, orang tua mendukung, dan dukungan termotivasi akademis siswa. Penelitian telah menunjukkan bahwa sekolah yang efektif cenderung ditandai dengan suasana yang tertib dan aman (Cotton, 2000; Edmonds, 1979; Milam et al, 2010;. Purkey dan Smith, 1983; Sammons et al, 2011.); cenderung memiliki orang tua yang membantu anak-anak mereka belajar (Hofman dan Hofman, 2011;. Taylor et al, 2000); dan cenderung memiliki program pengembangan staf sekolah-lebar yang mempromosikan budaya belajar yang sedang berlangsung antara staf dan mahasiswa (Purkey dan Smith, 1983;. Sammons et al, 1995;. Taylor et al, 2000).
  • Sekolah dengan kepemimpinan instruksional yang kuat telah ditemukan terkait dengan prestasi siswa yang lebih tinggi (Edmonds, 1979; Gulcan, 2012; Hofman dan Hofman, 2011; Purkey dan Smith, 1983; Taylor et al, 2000;. Teddlie et al,. 2000). komponen kunci dari kepemimpinan termasuk memiliki otonomi, tegas, dan kepemimpinan instruksional tujuan dari prinsipal (Purkey dan Smith, 1983;. Sammons et al, 1995;. Teddlie et al, 2000) dan memiliki kemampuan untuk menyimpan dan mengkomunikasikan visi yang jelas tujuan pendidikan sekolah dan standar (Cotton, 2000).
  • Sekolah dengan staf tinggi moral juga ditemukan kaitkan dengan prestasi siswa (Shen et al, 2012;.. Taylor et al, 2000; Zigarelli, 1996). Semangat staf termasuk stabilitas staf (Purkey dan Smith, 1983), rasa kolegialitas, kolaborasi dan persatuan di antara staf (Sammons et al, 1995;.. Taylor et al, 2000)., Dan kepuasan kerja guru (Shen et al, 2012). Semangat staf adalah sangat penting untuk sekolah di perkotaan mengingat bahwa mereka cenderung mengalami paling kesulitan dengan mempertahankan dan mempekerjakan guru berkualitas tinggi (Teddlie et al., 2000).
  • Selain itu, hasil dari penelitian tentang penilaian formatif (lihat Hitam dan Wiliam, 1998a, b; Brookhart, 2007; Scriven, 1967) menunjukkan bahwa penggunaan konsisten dan sistematis data kinerja siswa tepat waktu untuk meningkatkan instruksi dan untuk memantau kemajuan siswa adalah fitur penting dari sekolah yang efektif. penggunaan data telah ditemukan sangat efektif bila guru memiliki akses, waktu, dan keterampilan untuk secara akurat menganalisis dan menginterpretasikan data untuk meningkatkan pembelajaran siswa (Black dan Wiliam, 1998a, b; Christman et al, 2009;. Clark, 2010; Frohbieter et al, 2011;. Halverson, 2010;. Hamilton et al, 2009;. Shepard et al, 2011).
  • Para peneliti telah menunjukkan bahwa efikasi guru berhubungan positif dengan belajar siswa melalui pengaruhnya terhadap sejumlah perilaku guru seperti usaha (Edmonds dan Spradlin, 2010; Gibson dan Dembo, 1984; Rouse dan Florian, 1996), instruksi terorganisir dengan baik (Allinder 1994), keterbukaan terhadap reformasi pendidikan (Adams dan Forsyth, 2009; DeMesquita dan Drake, 1994). Di tingkat sekolah, sikap ini ditemukan berhubungan positif dengan tingkat yang berbeda dari membaca dan matematika prestasi di sekolah di distrik kota besar (Goddard et al., 2000).
Selanjutnya Daryanto (2011: 97) bahwa ciri utama sekolah efektif, berdasarkan berbagai riset meliputi: (a) kepemimpinan instruksional yang kuat; (b) harapan yang tinggi terhadap prestasi siswa; (c) adanya lingkungan belajar yang tertib dan nyaman; (d) menekankan pada ketrampilan dasar; (e) pemantauan secara kontinyu terhadap kemajuan siswa; dan (f) terumuskan tujuan sekolah secara jelas.
Dari dua pendapat di atas, setidaknya dapat dibuat sustu benang merah, sebagai penggabungan kedua pendapat tersebut mengenai ciri sekolah efektif, yaitu: (1) adanya lingkungan belajar yang aman, (2) adanya kepemimpinan instruksional yang kuat, (3) adanya pemantauan terhadap kemajuan/prestasi belajar siswa secara kontinyu, (4) adanya semangat moral staf yang tinggi, (5) adanya guru yang memiliki kemampuan belajar tinggi, (6) adanya harapan yang tinggi terhadap prestasi belajar siswa, dan (7) menekankan pada ketrampilan dasar
Pendapat lain, bahwa sebagai ukuran dasar dari pada sekolah efektif adalah jika memiliki kriteria-kriteria sebagai berikut: (Sudarwan Danim: 2012: 61-62)
  1. Mempunyai standar kerja yang tinggi dan jelas.
  2. Mendorong aktifitas, pemahaman multi budaya, kesetaraan gender, dan mengembangkan secara tepat pembelajaran menurut standar potensi yang dimiliki oleh pelajar.
  3. Mengharapkan para siswa untuk mengambil peran tanggung jawab dalam belajar dan perilaku dirinya.
  4. Mempunyai instrumen evaluasi dan penilaian hasil belajar siswa yang terkait dengan standar pelajar.
  5. Menggunakan metode pembelajaran yang berakar pada penelitian pendidikan dan suara praktik profesional.
  6. Mengorganisasikan sekolah dan kelas untuk mengkreasikan lingkungan yang bersifat memberi dukungan bagi kegiatan pembelajaran.
  7. Pembuatan keputusan secara demokratis dan akuntabilitas untuk kesuksesan siswa dan kepuasan pengguna.
  8. Menciptakan rasa aman, sifat saling menghargai, dan mengakomodasikan lingkungan secara efektif.
  9. Mempunyai harapan yang tinggi kepada semua staf untuk menumbuhkan kemampuan profesional dan meningkatkan kemampuan praktisinya.
  10. Secara aktif melibatkan keluarga di dalam membantu siswa untuk mencapai sukses.
  11. Bekerja sama atau berparner dengan masyarakat dan pihak-pihak lain untuk mendukung siswa dan keluarganya.

F.    Peranan Pengembangan Perencanaan Pendidikan Untuk Meningkatkan Sekolah Efektif.
Menurut E. Mulyasa (2013:61) mengemukakan,  bahwa setidaknya terdapat sembilan aspek yang harus diperhatikan dalam menciptakan sekolah efektif. Kesembilan aspek itu terkait dengan: perencanaan pengembangan sekolah, pengembangan guru dan staf, pengembangan peserta didik, pelibatan orang tua dan masyarakat, penghargaan dan insentif, tata tertib dan disiplin, pengembangan kurikulum dan pembelajaran, manajemen keuangan dan pembiayaan, serta pendayagunaan sarana dan prasarana sekolah. Karakteristik tersebut saling mendukung dalam mendorong terciptanya sekolah efektif.
Dari pendapat di atas, bahwa pelaksanaan atau mewujudkan sekolah efektif dapat dilakukan jika dapat mengembangkan ke sembilan komponen itu. Salah satu komponen yang harus dikembangkan dalam rangka menciptakan sekolah efektif adalah yang paling awal dilakukan adalah dengan perencanaan pengembangan sekolah.
Demikian juga Davies dan Ellison (1992, p. 9) dalam artikel Brent Davies Linda Ellison (1998), yang berjudul:"Futures and strategic perspectives in school planning", bahwa:
“The school development plan should provide the mechanism for defining a school’s aims
and translating these into effective educa-tion. Activities can be sub-divided into core elements which represent the main purpose of the school and support elements which facilitate the effective operation of the core elements”.

(Rencana pengembangan sekolah harus menyediakan mekanisme untuk mendefinisikan tujuan sekolah dan menerjemahkan ini ke dalam pendidikan yang efektif. Kegiatan dapat dibagi menjadi elemen inti yang merupakan tujuan utama dari unsur sekolah dan elemen pendukung yang memudahkan beroperasinya secara efektif unsur-unsur inti).
Dengan demikian dari pendapat di atas maka dengan adanya rencana pengembangan sekolah maka dapat menjadi penterjemah tujuan pendidikan kearah pengelolaan sekolah yang efektif. Artinya dengan adanya rencana pengembangan sekolah maka fungsi-fungsi organisasi yang berjalan di sekolah dapat diproses secara lebih efektif.
Berkaitan dengan hubungan antara perbaikan dan peningkatan efektifitas sekolah dengan rencana pengembangan sekolah ini, P.M.C. Leggate J.J. Thompson, (1997) berpendapat bahwa:
“The growth of interest in school improvement and school effectiveness over recent years has brought with it an increase in the volume of literature and debate relating to the value of development planning in schools, and its relevance to a wide range of contexts”.

(Pertumbuhan minat perbaikan sekolah dan efektivitas sekolah selama beberapa tahun terakhir telah membawa dengan itu peningkatan volume sastra dan debat berhubungan dengan nilai dari rencana pengembangan sekolah, dan keterkaitannya dengan berbagai macam konteks).
Dari pendapat di atas menunjukkan bahwa suatu langkah penting dalam usaha memperbaiki dan meningkatkan efektifitas sekolah adalah dengan meningkatkan minat kita untuk menjadikan penyusunan rencana pengembangan sekolah sebagai suatu yang sangat penting dalam pengelolaan sekolah kita. Atau dengan kata lain, jika kita menginginkan pebaikan dan menjadikan sekolah efektif, maka langkah yang penting adalah dengan menyusun rencana pengembangan sekolah yang menjamin perbaikan dan keefektifan sekolah tersebut.
Menurut Mulyasa (2013: 62) bahwa perencanaan pengembangan sekolah perlu dirumuskan dengan jelas, baik dalam jangka panjang, menengah, maupun jangka pendek. Sejalan dengan itu, rencana untuk memperbaiki dan mengefektifkan sekolah melalui perencanaan pengembangan sekolah maka, P.M.C. Leggate J.J. Thompson (1997), dalam artikelnya yang berjudul: "The management of development planning in international schools", mengemukakan pendapatnya sebagai berikut:
“Due to increasing interest in school development planning, improvement and effectiveness, more schools are gaining greater control over their own school management. Argues that school development plans should provide an operational structure with a clearly identified direction and priorities”.
(Disebabkan meningkatnya minat dalam pengembangan sekolah berencana, perbaikan dan keefektifan, banyak sekolah yang mendapatkan kontrol lebih besar atas pengelolaan sekolah mereka. Berpendapat bahwa rencana pengembangan sekolah harus menyediakan struktur operasionalnya dengan arah dan prioritas yang diidentifikasi dengan jelas).
Jadi berdasarkan pendapat diatas, bahwa sebuah perencanaan pendidikan yang akan mampu dijadikan sebagai pedoman untuk meningkatkan efektifitas sekolah adalah bahwa perencanaan pengembangan sekolah harus menyediakan struktur operasional dengan arah dan peroritas  yang diidentifikasikan dengan jelas.
Lebih lanjut E. Mulyasa (2014) menjelaskan bahwa, perencanaan yang baik, menuntut pelibatan  semua stakeholders sekolah, seperti kepala sekolah, guru, staf, peserta didik, pengawas, orang tua/komite sekolah, dan dewan pendidikan. Hal ini sejalan dengan pendapat
Michael Hess, dkk. (2014) yang mencetuskan model pengembangan perencanaan demokratis atau Developmental Democratic Planning (DDP). Dikatakan bahwa:
“To create a democratic planning culture, educational leaders cultivate and promote approaches to organizational leadership and planning that include (1) the leadership dispositions of hospitality, participation, mindfulness, humility; and (2) the organizational dispositions of mutuality, appreciation, and autonomy”.
(Untuk menciptakan budaya perencanaan yang demokratis, pemimpin pendidikan menumbuhkan dan mendorong pendekatan untuk kepemimpinan organisasi dan perencanaan yang meliputi (1) disposisi Kepemimpinan keramahan, partisipasi, kesadaran, kerendahan hati; dan (2) disposisi organisasi kebersamaan, menghargai, dan kemandirian).
Lebih lanjut dikatakan Mursell  (1955) dalam Michael Hess, dkk. (2014)  bahwa:

 “The model frames educational planning as a process that extends beyond the immediate focus of a particular planning effort to acknowledge and cultivate the potential of all members of the organization, individually and collectively, to fulfill their roles as active participants in the democratic life of the organization. Educational leaders who are committed to creating a democratic culture in their schools must provide ongoing opportunities for individual members of the educational organization to contribute to the development of the organization, through “group thinking, group action, and group responsibility” ”

(model bingkai perencanaan pendidikan sebagai proses yang melampaui menjadi fokus mendesak dari upaya berencana khusus untuk mengakui dan mengembangkan potensi semua anggota dari organisasi, secara individual dan secara bersama, dalam memenuhi peranan mereka sebagai peserta yang aktif dalam kehidupan demokrasi organisasi . Para pemimpin pendidikan yang memiliki komitmen pembentukan budaya demokrasi di sekolah mereka harus memberikan kesempatan yang berkelanjutan bagi anggota individu organisasi pendidikan untuk berkontribusi pada pengembangan organisasi, melalui "pemikiran kelompok, tindakan kelompok, dan tanggung jawab kelompok”)
Dengn demikian dari pendapat diatas bahwa perencanaan yang baik, salah satunya adalah dengan menciptakan iklim organisasi yang demokratis dalam pengembangan perencanaan sekolah, dengan inti pengertiannya adalah dengan melibatkan seluruh komponen pengelola dan yang berkepentingan dengan pendidikan untuk bersama sama menyusun perencanaan sekolah. Adapun ciri-ciri model pengembangan perencanaan demokratis itu adalah: adanya keramahan dalam kepemimpinan, kepemimpinan yang partisipatif, kesadaran pemimpin tentang pentingnya partisipasi bersama, dan kepemimpinan yang rendah hati; sedangkan pada level organisasi akan tercipta kebersamaan, saling menghargai, dan adanya kemandirian.
Beberapa indikator berikut dapat dijadikan acuan untuk mengembangkan perencanaan pengembangan sekolah. (E. Mulyasa, 2014: 62)
•    Sekolah memiliki rencana jangka pendek (rencana tahunan), rencana menengah (3 sampai 5 tahun), dan rencana jangka panjang (5 sampai 10 tahun).
•    Visi dan misi sekolah dirumuskan bersama dengan berbagai pihak yang berkepentingan dengan sekolah, dan dipahami oleh seluruh warga sekolah (peserta didik, guru, kepala sekolah, staf) bahkan orang tua dan masyarakat untuk mendapatkan dukungan penuh.
•    Visi dan misi sekolah dinyatakan secara jelas dan berorientasi pada nilai-nilai ideal, menantang, dan bersifat inovatif, serta dijadikan dasar dalam penyusunan program sekolah.
•    Strategi dan program sekolah di kembangkan secara konsisten mengarahkan pencapaian visi dan misi sekolah.
•    Komite sekolah dilibatkan secara aktif dalam penyusunan RAPBS dan penetapan APBS.
•    Guru berpartisipasi aktif menentukan prioritas perencanaan jangka pendek.
•    Kepentingan peserta didik menjadi perioritas dalam program-program yang direncanakan.
Akhirnya dapat dikatakan bahwa perencanaan pendidikan merupakan proses utama yang menentukan kegiatan pembelajaran itu akan berlangsung dengan baik atau tidak. Maka dari itu pelaksanaan dari perencanaan tersebut harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab. Di dalam organisasi sekolah juga selalu ada perencanaan. Organisasi sekolah bisa berjalan karena sebelumnya ada perencanaan, bagaimana sekolah  itu akan berjalan, siapa orang-orang yang akan menjalankan sekolah tersebut, dan siapa yang akan menjadi pemimpin dari sekolah tersebut. Perencanaan dalam suatu sekolah menentukan keberhasilan sekolah tersebut.Maka kualitas perencanaannya harus diperhatikan dan ditingkatkan untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Artinya terbentuknya sekolah efektif, salah satunya adalah ditentukan oleh adanya perencanaan sekolah yang bermutu, yaitu perencanaan sekolah yang dapat menjadi landasan dan arah bagi sekolah untuk mencapai tujuannya secara maksimal.

G.    Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, maka dapat dibuat beberapa kesimpulan sebagai berikut:
  1. Perencanaan pendidikan adalah keputusan yang diambil untuk melakukan tindakan selama waktu tertentu (sesuai dengan jangka waktu perencanaan) agar penyelenggaraan sistim pendidikan menjadi lebih efektif dan efisien, serta menghasilkan lulusan yang bermutu, dan relevan dengan kebutuhan masyarakat.
  2. Tujuan perencanaan pendidikan adalah “untuk mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien dengan upaya yang optimal”.
  3. Fungsi  perencanaan dalam suatu organisasi adalah proses merumuskan tujuan-tujuan, menetapkan sumber daya yang dibutuhkan, menetapkan tugas dan kewenangan, dan menetapkan pilihan terhadap teknik atau metode yang dipakai untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
  4. Sekolah efektif merupakan sekolah yang mampu  mewujudkan tujuan pembelajaaran di sekolah secara maksimal kepada peserta didik yaitu mampu mewujudkan pengembangan kemampuan siswa yang berkualitas tinggi, sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan dengan memanfaatkan seluruh sumber daya yang ada secara maksimal. Sekolah efektif akan sangat berbeda kualitasnya dengan sekolah lain yang tidak efektif, walaupun memiliki sumber daya pendukung yang relatif sama.
  5. Ciri sekolah efektif, antara lain yaitu: (1) adanya lingkungan belajar yang aman, (2) adanya kepemimpinan instruksional yang kuat, (3) adanya pemantauan terhadap kemajuan/prestasi belajar siswa secara kontinyu, (4) adanya semangat moral staf yang tinggi, (5) adanya guru yang memiliki kemampuan belajar tinggi, (6) adanya harapan yang tinggi terhadap prestasi belajar siswa, dan (7) menekankan pada ketrampilan dasar.
  6. Terbentuknya sekolah efektif, salah satunya adalah ditentukan oleh adanya perencanaan sekolah yang bermutu, yaitu perencanaan sekolah yang dapat menjadi landasan dan arah bagi sekolah untuk mencapai tujuannya secara maksimal.


DAFTAR PUSTAKA
  1. Anonim. 2011. Manajemen Pendidikan. Cetakan keempat. Bandung: PT. Alfabeta.
  2. Brent Davies Linda Ellison. (1998)."Futures and strategic perspectives in school planning". International Journal of Educational Management, Vol. 12 Iss 3 pp. 133 – 140.
  3. Danim, Sudarwan. 2012. Visi Baru Manajemen Sekolah; Dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akademik. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
  4. Daryanto.  2011. Kepala Sekolah Sebagai Pemimpin Pembelajaran. cetakan pertama. Yogyakarta: Penerbit Gavamedia.
  5. Hess, Michael., Johnson, Jerry., dan Reynolds, Sharon. 2014. A Developmental Model for Educational Planning: Democratic Rationalities and Dispositions. NCPEA International Journal of Educational Leadership Preparation, Vol. 9, No. 1 – March, 2014 ISSN: 2155-9635 © 2014 National Council of Professors of Educational Administration.
  6. Martin. 2014. Dasar-dasar Perencanaan Pendidikan. Cetakan keduaDepok: PT. Rajagrafindo Persada.
  7. P.M.C. Leggate J.J. Thompson. (1997)."The management of development planning in international schools". International Journal of Educational Management, Vol. 11 Iss 6 pp. 268 – 273
  8. Sutomo.  2004. Manajemen Sekolah. Semarang: UPT MKU UNNES.
  9. http://cak-a6.blogspot.co.id/2011/02/proses-penyusunan-rencana-pengembangan.html
  10. http://rukmant.blogspot.co.id/p/blog-page.html

Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Untuk Meningkatkan Sekolah Efektif


A.    Pendahuluan
Salah satu faktor utama yang menentukan keberhasilan dan kemajuan suatu negara, adalah terletak pada keberhasailannya dalam membangun kualitas sumber daya manusia. Sementara itu, pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas, tidak lain adalah tergantung kepada kualitas pelayanan dan proses yang terjadi di lembaga pendidikan. mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Dengan demikian, menjadi tugas yang sangat esensial bagi sebuah bangsa adalah dengan mewujudkan pelaksanaan dan proses pendidikan yang bermutu dalam rangka menjamin keberhasilan pembangunan.
Di Indonesia permasalahan mutu prndidikan adalah suatu maalah yang sangat menarik perhatian, disebabkan karena banyaknya masalah yang mengemuka diruang publik mulai dari masalah yang berisifat “hulu” yaitu permasalahan kebijakan pemerintah pusat terkait dengan seringnya terjadi “perubahan kurikulum” sampai kepada masalah yang bersifat “hilir”, yaitu permasalahan-permasalahan teknis kegiatan belajar mengajar guru di kelas seperti adanya guru yang dipenjara karena memberikan hukuman fisik kepada siswa ketika proses belajar mengajar berlangsung di kelas. Hal ini menunjukkan selain masalah pendidikan merupakan masalah yang terkait dengan seluruh masyarakat “banyak”, juga menunjukkan bahwa begitu pentingnya masalah pendidikan bagi sebuah masyarakat dan bangsa. Sewajarnya tidak ada “kata mundur” dalam rangka mengurai kekusutan masalah pendidikan di Negara kita Indonesia yang tecinta ini, apalagi bagi kita sebagai praktisi pendidikan yang merupakan pelaku-pelaku proses pendidikan di lapangan (sekolah).
Secara khusus, salah satu di antara masalah besar dalam bidang pendidikan di Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan yang tercermin dari rendahnya rata-rata prestasi belajar. Masalah lain antara lain adalah disebabkan karena pendekatan dalam pembelajaran yang masih terlalu didominasi peran guru. Guru lebih banyak menempatkan peserta didik sebagai objek dan bukan sebagai subjek didik. Pendidikan kita kurang memberikan kesempatan kepada peserta didik dalam berbagai mata pelajaran, untuk mengembangkan kemampuan berpikir holistik (menyeluruh), kreatif, objektif, dan logis. Proses pendidikan dalam sistem persekolahan kita, umumnya belum menerapkan pembelajaran sampai peserta didik menguasai materi pembelajaran secara tuntas. Akibatnya, banyak peserta didik yang tidak menguasai materi pembelajaran meskipun sudah dinyatakan tamat dari sekolah. Tidak heran kalau mutu pendidikan secara nasional masih rendah. Mutu hasil pendidikan yang masih rendah serta mengabaikan aspek-aspek moral, akhlak, budi pekerti, seni & olah raga, serta kecakapan hidup, persaingan global yang memungkinkan hanya mereka yang mampu akan berhasil.
Salah satu jalan keluar dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan adalah pengimplementasian sekolah efektif, atau dengan kata lain sekolah efektif merupakan proses penyelenggaran pendidikan yang bermutu. Pendidikan yang bermutu bukan hanya mencakup prestasi siswanya secara akademis, tetapi juga nonakademis, seperti berakhlakul karimah, mandiri, dan peningkatan gairah belajar. Sekolah efektif adalah sekolah yang berupaya menjalankan fungsinya sebagai tempat belajar yang paling baik dengan menyediakan layanan pembelajaran yang bermutu bagi siswa siswinya. Salah satu ciri sekolah efektif adalah adanya kurikulum sekolah yang terancang dan terintegrasi satu sama lain. (http://rukmant.blogspot.co.id/p/blog-page.html).
Dengan demikian faktor kurikulum merupakan faktor penting yang harus menjadi fokus perhatian dalam meningkatkan mutu pendidikan di sekolah. Faktor ini mencakup masalaha yang sangat luas, karena kurikulum merupakan keseluruhan totalitas disain yang akan membentuk pengalaman yang akan dialami siswa selama mengikuti proses belajar di suatu lembaga pen didikan. Artinya bahwa sebagian besar masalah pendidikan, yang terkait dengan hal-hal teknis yang berlangsung di sekolah, seperti misalnya kualitas pengajaran guru yang tidak bermutu sampai kepada pertanggungjawaban hasil dari output sekolah seperti diterima atau tidaknya siswa tamatan oleh dunia kerja, juga tetap terkait dengan tanggung jawab kurikulum. Dengan demikian maka kurikulum harus merupakan sesuatu yang menjadi fokus perhatian, agar selalu menampilkan dirinya sesuai dengan tuntutan keadaan pelanggan pendidikan.
Kurikulum adalah merupakan isi dari suatu proses pendidikan, sementara isi dari proses pendidikan adalah merupakan cerminan dari tuntutan kebutuhan masyarakat sebagai pengguna atau pelanggan pendidikan. Dengan demikian kurikulum adalah merupakan sesuatu yang mustahil untuk “tidak berubah”, seperti mustahilnya keadaan kehidupan masyarakat yang “tidak berubah”. Perubahan kurikulum adalah sesuatu yang mesti terjadi, artinya perubahan dan pengembangan proses pendidikan disekolah juga adalah sesuatu yang mesti berubah dan terus berkembangkan sesuai dengan tuntutan perubahan kurikulum.
Kurikulum hasil pengembangan harus dapat menjamin arah pelaksanaan proses pembelajaran guru dan siswa yang yang berkuaitas. Dengan adanya pengembangan kurikulum maka akan dapat menjadi pedoman dalam menetapkan kompetensi SDM pengelola lembaga pendidikan, kualitas proses pembelajaran di kelas, mekanisme evaluasi pembelajaran yang baik, dan pada akhirnya dengan pengemba ngan kurikulum akan dapat menetapkan mutu siswa yang akan dihasilkan. Artinya, pada tahap ini perubahan kurikulum dan pembelajaran, meruapakan instrumen utama dalam meningkatkan efektifitas pelaksanaan pendidika di sekolah. Sejalan dengan itu, Robin Wolven (2013: 5) mengemukakan bahwa pengembangan kurikulum menentukan seberapa efektif tujuan dan nilai-nilai yang diinginkan terpenuhi dan berfungsi untuk penelitian, rencana, dan menyiapkan konten dan metode yang akan diajarkan selama pembelajaran untuk mencapai hasil yang diinginkan. Lebih lanjut E. Mulyasa (2013: 61) bahwa setidaknya ada sembilan aspek yang harus diperhatikan dalam menciptakan sekolah efektif, salah satunya adalah adanya pengembangan kurikulum dan pembelajaran.


B.    Pengertian Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran.
Menurut Achasius Kaber (1988: 75) bahwa pengembangan kurikulum merupakan bagian yang esensial dari pada program pendidikan. Sasaran yang ingin dicapai bukanlah semata-mata memproduksi bahan pelajaran melainkan lebih untuk meningkatkan kualitas pendidikan. pengembangan kurikulum juga menyangkut banyak faktor, mempertimbangkan isu-isu mengenai kurikulum, siap yang dilibatkan, bagaimana prosesnya, apa tujuannya, kepada siapa kurikulum itu di tujukan.
Menurut Wales dan Bondi (2011, p1) dalam Robin Wolven (2013), mendefinisikan pen gembangan kurikulum yaitu: Curriculum development is the organization and preparation of what will be taught in the upcoming school year. According to Curriculum Development: A Guide to Practice, curriculum development is “usually associated with a document such as a textbook, syllabus, teacher’s guide, or learning package”. Secara sederhana dapat di terjemahkan: Pengembangan kurikulum adalah pengorganisasian dan persiapan apa yang akan diajarkan pada tahun ajaran mendatang. Menurut Pengembangan Kurikulum: Sebuah Panduan untuk Praktek, pengembangan kurikulum adalah "biasanya berhubungan dengan dokumen seperti buku teks, silabus, panduan guru, atau paket pembelajaran" (Wiles dan Bondi, 2011, p 1 dalam
Pengembangan kurikulum merupakan langkah antisipatif dalam mengimbangi berkembang pesatnya kemajuan zaman, yang ditandai dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, teknologi, psikologi, sosial kemasyarakatan, politik, dan ekonomi. Hal ini sejalan dengan pernyataan Oliva (1992) “Curiculum is a product of its time, cure, and respond to change by social forces, philosophy position, psychology principles, educational leadership at a moment in history”. Pernyataan tersebut mengandung makna bahwa kurikulum itu akan dan harus berubah sejalan dengan  perubahan yang terjadi dalam setiap bidang kehidupan. Dasar pengembangan kurikulum mengikuti perkembangan sosial, filosofi masyarakat, pandangan terhadap psikologi, dan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan pendidikan (Andang, 2014: 200-201).
Pengembangan kurikulum dan program pembelajaran merupakan kegiatan dari manajemen sekolah. Pengembangan kurikulum dan program pembelajaran mencakup kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian kurikulum. Perencanaan dan pengembangan kurikulum  nasional pada umumnya telah dilakukan oleh DepDikNas pada tingkat pusat. Karena itu level sekolah yang paing penting adalah bagaimana merealisasikan dan menyesuaiakan kurikulum (Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar, SKKD) tersebut dengan kegiatan pembelajaran. disamping itu sekolah juga bertugas dan berwewenang untuk mengembangkan kurikulum muatan lokal dan life skill sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan lingkungan setempat (E. Mulyasa, 2013: 81).
Selanjutnya juga dikatakan bahwa sekolah merupakan ujung tombak pelaksanaan kurikulum, yang diwujudkan melalui proses pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, institusional, kurikuler, dan instruksional. Agar proses pembelajaran dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien serta mencapai hasil yang diharapkan, diperlukan kegiatan manajemen program pembelajaran. manajemen pembelajran adalah keseluruhan proses penyelenggaraan kegiatan di bidang pembelajaran yang bertujuan agar seluruh kegiatan pembelajaran terlaksana secara efektif dan efisien. Kepala sekolah diharapkan dapat membimbing dan mengarahkan pengembangan kurikulum dan program pembelajaran serta melakukan pengawasan dalam pelaksanaannya. Dalam proses pengembangan program sekolah, kepala sekolah hendaknya tidak membatasi diri pada pendidikan dalam arti sempit, ia harus menghubungkan program-program sekolah dengan seluruh kehidupan peserta didik dan kebutuhan lingkungan.
Dalam era desentralisai saat ini, pemerintah memberikan keleluasaan kepada pihak sekolah untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh pemerintah, terutama yang terkait dengan standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses, dan standar penilaian. Keempat standar tersebut merupakan komponen penting dari kurikulum, sedangkan empat standar yang lainnya yaitu standar pengelolaan, standar sarana, standar pendidik dan kependidikan dan standar pembiayaan merupakan standar yang sangat mendukung pencapaian empat standar yang pertama.
Kurikulum merupakan salah satu indikator yang menetukan berhasil tidaknya kinerja suatu pendidikan. oleh karena itu pengembangan kurikulum dan pembelajaran harus dikelola secara baik dan bersifat kontekstual. Oleh karena itu kepala sekolah sebagai pemimpin disekolah dalam mengembangkan kurikulum harus mengikuti prinsip-prinsip dalam pengembangan kurikulum dan pembelajaran. Artinya, prinsip tersebut dipegang sebagai acuan agar kurikulum yang dihasilkannya memenuhi harapan peserta didik, lembaga pendidikan/sekolah, orang tua, masyarakat pengguna, dan tentunya pemegang kebijakan pendidikan  atau pemerintah.
Pengembangan kurikuum mengacu pada tiga unsur, yaitu: (1) nilai dasar yang merupakan falsafah dalam pendidikan manusia  seutuhnya; (2) fakta emperik yang tercermin dari pelaksanaan kurikulum, baik berdasarkan penilaian kurikulum, studi, maupun survei lainnya; dan (3) landasan teori yang menjadi arahan pengembangan dan kerangka penyorotnya (Depdikbud, 1986:1)
(https://kuninghijau.wordpress.com/2011/02/28/pembelajaran-dan-pengembangan-kurikulum/)
  1. Landasan Filosofis. Filsafat boleh juga didefinisikan sebagai sebuah studi tentang: hakikat realitas, hakikat ilmu pengetahuan, hakikat sistem nilai, hakikat nilai kebaikan, hakikat keindahan, dan hakikat pikiran (Winecoff, 1988 : 13). Landasan filosofis pengembangan kurikulum di Indonesia secara cepat dan tepat kita dipastikan, yakni nilai dasar yang merupakan falsafah dalam pendidikan manusia seutuhnya yakni Pancasila.
  2. Landasan Sosial-Budaya-Agama. Nilai-nilai keagamaan berhubungan erat erat dengan kepercayaan masyarakat terhadap ajaran dan nilai-nilai agama yang mereka anut. Nilai sosial budaya masyarakat bersumber pada hasil karya budi manusia, sehingga dalam menerima , menyebarluaskan, melestarikan, dan atau melepaskannya manusia menggunakan akalnya. Untuk melaksanakan penerimaan, penyebarluasan, perlestarian, atau penolakan dan pelepasan nilai-nilai sosial-budaya-agama, maka masyarakat memanfaatkan pendidikan yang dirancang melalui kurikulum.
  3. Landasan Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Seni. Nana Sy. Sukmadinata (1988:82) mengemukakan bahwa pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara langsung akan menjadi isi/materi pendidikan. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (ipteks) juga dimanfaatkan untuk memecahkan masalah pendidikan.
  4. Landasan Kebutuhan Masyarakat. Adanya falsafah hidup, perubahan sosial budaya agama, perubahan iptek dalam suatu masyarakat akan merubah pola kebutuhan masyarakat. Sehingga salah satu landasan pengembangan kurikulum adalah kebutuhan masyarakat yang dilayani melalui kurikulum yang dikembangkan.
  5. Landasan Perkembangan Masyarakat. Salah sau ciri dari masyarakat adalah selalu berkembang. Mungkin pada masyarakat tertentu perkembangan sangat lambat, tetapi masyarakat lainnya cepat bahkan sangat cepat (Nana Sy. Sukmadinata, 1988 : 66). Proses pendidikan yang sesuai dengan perkembangan masyarakat maka diperlukan rancangannya berupa kurikulum yang landasan pengembangannya berupa perkembangan masyarakat itu sendiri.

C.    Tujuan dan Fungsi Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran.
Istilah yang digunakan untuk menyatakan tujuan pengembangan kurikulum adalah goals dan objectives. Tujuan sebagai goals dinyatakan dalam rumusan yang lebih abstrak dan bersifat umum, dan pencapaiannya relatif dalam jangka panjang.  Adapun tujuan sebagai objectives, lebih bersifat khusus, operasional, dan pencapaiannya dalam jangka pendek. Aspek tujuan baik yang dinyatakan dalam goals maupun objectives, memainkan peran yang sangat penting dalam pengembangan kurikulum, tujuan berfungsi untuk menentukan arah seluruh upaya kependidikan sekolah atau unit organisasi lainnya, sekaligus menstimulasi kualitas yang diharapkan. Berbagai kegiatan lain dalam pengembangan kurikulum, seperti penentuan ruang lingkup, sekuensi dan kriteria seleksi konten, tidak akan efektif jika tidak berdasarkan tujuan yang signifikan (Oemar Hamalik, 2008).
Sementara itu Alan C.K. cheung dan Ping Man Wong (2010: 453) mengemukakan bahwa Biro Pendidikan Hongkong (EDB) meluncurkan reformasi kurikulum sepuluh tahun yang komprehensif dengan harapan untuk meningkatkan kemampuan  belajar dan prestasi keseluruhan tingkat dari semua siswa  di sektor sekolah dasar dan menengah. Lebih lanjut dikatakan bahwa secara keseluruhan, reformasi kurikulum sebagai upaya untuk mengembangkan budaya baru belajar dan mengajar dengan menggeser dari transmisi pengetahuan untuk belajar cara belajar, dan dengan demikian membuat dampak pada belajar siswa (Pengembangan Kurikulum Council, 2001).
Dari penjelasan diatas menunjukkan bahwa reformasi kurikulum (dapat juga dipahami sebagai mengubah dan mengembangkan kuriukulum) memiliki tujuan akhir, yaitu meningkatkan kemampuan belajar dan prestasi siswa. Selain itu, reformasi kurikulum juga  berfungsi untuk mengembangkan budaya baru dalam belajar bagi siswa maupun budaya mengajar baru bagi guru.
Pendapat lain tentang tujuan pengembangan kurikulum dapat dikemukakan Yin Cheong Cheng (1989) berikut ini:” To a great extent, curriculum development, or change, aims to maximize the effectiveness of teaching and learning through change in planned content, activities and arrangements for educational processes”.  Secara sederhana dapat diartikan bahwa; untuk sebagian besar, pengembangan kurikulum, atau perubahan, bertujuan untuk memaksimalkan efektivitas mengajar dan belajar melalui perubahan konten yang direncanakan, kegiatan dan pengaturan untuk proses pendidikan.
Jadi dengan demikian bahwa dari pendapat Yin Cheong Cheng di atas bahwa perubahan dan pengembangan kurikulum di sebuah sekolah bertujuan untuk memaksimalkan efektifitas mengajar guru dan juga memaksimalkan proses belajar siswa, melalui perubahan konten yang direncanakan, perubahan kegiatan dalam proses pembelajaran, serta pengaturan proses pendidikan.
Fungsi pengembangan kurikulum adalah untuk penelitian, rencana, dan menyiapkan konten dan metode yang akan diajarkan selama pembelajaran untuk mencapai hasil yang diinginkan. Tujuh langkah utama pengembangan kurikulum, seperti yang diidentifikasi oleh Taba (1962), dikutip dalam Wiles dan Bondi (. 2011, p 8) adalah:
1.    Diagnosis kebutuhan.
2.    Perumusan tujuan.
3.    Pemilihan konten.
4.    Organisasi konten.
5.    Pemilihan pengalaman belajar.
6.    Organisasi pengalaman belajar.
7.    Penentuan apa untuk mengevaluasi dan sarana


D.    Pengertian Sekolah Efektif.
Sekolah efektif dalam bahasa Inggris berasal dari dua kata, yaitu effective dan school.  Makna efektif merujuk pada kemampuan menghasilkan sesuatu atau mampu mencapai tujuan.  Efektivitas merupakan ukuran yang menyatakan sejauh mana sasaran atau tujuan (kualitas, kuantitas dan waktu) telah dicapai.
Beberapa definisi sekolah efektif akan dikemukakan di bawah ini: (http://rukmant.blogspot.co.id/p/blog-page.html)
  1. Sekolah efektif memiliki pengertian yang berbeda dengan efektivitas sekolah. ACT Council of P&C Associations (2007) mendefinisikan sekolah efektif sebagai “those that successfully progress the learning and development of all of thei students”. Definisi diatas dapat dimaknai bahwa sekolah efektif adalah sekolah yang mampu meningkatkan belajar peserta didiknya dan mengembangkan semua siswa yang ada di sekolah tersebut secara sukses.
  2. Sammons, Hilmans and Mortimore (1995: 3) mendefinisikan sekolah efektif sebagai: “one in which pupils progress further than might be expected from consideration of its intake. In other word an effective schools adds extra value to its students outcome in comparison  with other schools serving similar intakes. By contrast an ineffective school is one in which students make less progress than expected given their    characteristic at intake”. Definisi dari Sammons, Hilman dan Mortimore ini dapat dipahami bahwa sekolah efektif merupakan satu hal dimana kemajuan para siswa lebih baik dari kondisi yang biasa diharapkan. Atau sekolah efektif itu sekolah yang memberikan nilai lebih pada peserta didiknya dibandingkan sekolah lain yang memiliki karakteristik yang sama.
  3. Sekolah efektif adalah sekolah yang menjalankan fungsinya sebagai tempat belajar yang paling baik dengan menyediakan layanan pembelajaran yang bermutu bagi siswa siswinya. (Joni Ukat, 2008 : 1). Pengertian umum sekolah efektif juga berkaitan dengan perumusan apa yang harus dikerjakan dengan apa yang telah dicapai. Sehingga suatu sekolah akan disebut efektif  jika terdapat hubungan yang kuat antara apa yang telah dirumuskan untuk dikerjakan dengan hasil-hasil yang dicapai oleh sekolah, sebaliknya sekolah dikatakan tidak efektif bila hubungan tersebut rendah (Getzel, 1969).
Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa sekolah efektif merupakan sekolah yang mampu  mewujudkan tujuan pembelajaaran di sekolah secara maksimal kepada peserta didik yaitu mampu mewujudkan pengembangan kemampuan siswa yang berkualitas tinggi, sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan dengan memanfaatkan seluruh sumber daya yang ada secara maksimal. Sekolah efektif akan sangat berbeda kualitasnya dengan sekolah lain yang tidak efektif, walaupun memiliki sumber daya pendukung yang relatif sama.


E.    Ciri-ciri Sekolah Efektif.
Berikut akan dikemukakan pendapat dari kesimpulan dari Aubrey H. Wang, Alyssa M. Walters  dan Y.M. Thum (2012) yang didasarkan pada pendapat beberapa peneliti sebelumnya, yaitu:
“Over the past three decades, numerous research studies have outlined characteristics of effective schools (see Hofman and Hofman, 2011; Purkey and Smith, 1983; Sammons et al., 2011; Sammons et al., 2011; Taylor et al., 2000). Based on a review of the most notable empirical studies of effective schools serving high-risk and low-income students, a framework that included the following five inter-related characteristics was developed. It included strong learning environment, strong instructional leadership, high staff morale, evidence-based decision making, and high level of teacher efficacy. While the list was not exhaustive, these characteristics guided the subsequent data collection and analyses. Each of these characteristics was described briefly below”.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa ciri-ciri sekolah efektif itu ditandai dengan hal-hal sebagai berikut: lingkungan yang kuat belajar, kepemimpinan instruksional yang kuat, staf yang memiliki semangat tinggi, pengambilan keputusan berbasis fakta/data, dan guru yang memiliki kemampuan tingkat tinggi.
Lebih lanjut Aubrey H. Wang, Alyssa M. Walters  dan Y.M. Thum (2012) menjelaskan lebih rinci mengenai lima ciri sekolah efektif di atas sebagai berikut:
  • Sekolah dengan lingkungan belajar yang aman adalah sekolah yang mencakup lingkungan aman dan tertib, orang tua mendukung, dan dukungan termotivasi akademis siswa. Penelitian telah menunjukkan bahwa sekolah yang efektif cenderung ditandai dengan suasana yang tertib dan aman (Cotton, 2000; Edmonds, 1979; Milam et al, 2010;. Purkey dan Smith, 1983; Sammons et al, 2011.); cenderung memiliki orang tua yang membantu anak-anak mereka belajar (Hofman dan Hofman, 2011;. Taylor et al, 2000); dan cenderung memiliki program pengembangan staf sekolah-lebar yang mempromosikan budaya belajar yang sedang berlangsung antara staf dan mahasiswa (Purkey dan Smith, 1983;. Sammons et al, 1995;. Taylor et al, 2000).
  • Sekolah dengan kepemimpinan instruksional yang kuat telah ditemukan terkait dengan prestasi siswa yang lebih tinggi (Edmonds, 1979; Gulcan, 2012; Hofman dan Hofman, 2011; Purkey dan Smith, 1983; Taylor et al, 2000;. Teddlie et al,. 2000). komponen kunci dari kepemimpinan termasuk memiliki otonomi, tegas, dan kepemimpinan instruksional tujuan dari prinsipal (Purkey dan Smith, 1983;. Sammons et al, 1995;. Teddlie et al, 2000) dan memiliki kemampuan untuk menyimpan dan mengkomunikasikan visi yang jelas tujuan pendidikan sekolah dan standar (Cotton, 2000).
  • Sekolah dengan staf tinggi moral juga ditemukan kaitkan dengan prestasi siswa (Shen et al, 2012;.. Taylor et al, 2000; Zigarelli, 1996). Semangat staf termasuk stabilitas staf (Purkey dan Smith, 1983), rasa kolegialitas, kolaborasi dan persatuan di antara staf (Sammons et al, 1995;.. Taylor et al, 2000)., Dan kepuasan kerja guru (Shen et al, 2012). Semangat staf adalah sangat penting untuk sekolah di perkotaan mengingat bahwa mereka cenderung mengalami paling kesulitan dengan mempertahankan dan mempekerjakan guru berkualitas tinggi (Teddlie et al., 2000).
  • Selain itu, hasil dari penelitian tentang penilaian formatif (lihat Hitam dan Wiliam, 1998a, b; Brookhart, 2007; Scriven, 1967) menunjukkan bahwa penggunaan konsisten dan sistematis data kinerja siswa tepat waktu untuk meningkatkan instruksi dan untuk memantau kemajuan siswa adalah fitur penting dari sekolah yang efektif. penggunaan data telah ditemukan sangat efektif bila guru memiliki akses, waktu, dan keterampilan untuk secara akurat menganalisis dan menginterpretasikan data untuk meningkatkan pembelajaran siswa (Black dan Wiliam, 1998a, b; Christman et al, 2009;. Clark, 2010; Frohbieter et al, 2011;. Halverson, 2010;. Hamilton et al, 2009;. Shepard et al, 2011).
  • Para peneliti telah menunjukkan bahwa efikasi guru berhubungan positif dengan belajar siswa melalui pengaruhnya terhadap sejumlah perilaku guru seperti usaha (Edmonds dan Spradlin, 2010; Gibson dan Dembo, 1984; Rouse dan Florian, 1996), instruksi terorganisir dengan baik (Allinder 1994), keterbukaan terhadap reformasi pendidikan (Adams dan Forsyth, 2009; DeMesquita dan Drake, 1994). Di tingkat sekolah, sikap ini ditemukan berhubungan positif dengan tingkat yang berbeda dari membaca dan matematika prestasi di sekolah di distrik kota besar (Goddard et al., 2000).
Selanjutnya Daryanto (2011: 97) bahwa ciri utama sekolah efektif, berdasarkan berbagai riset meliputi: (a) kepemimpinan instruksional yang kuat; (b) harapan yang tinggi terhadap prestasi siswa; (c) adanya lingkungan belajar yang tertib dan nyaman; (d) menekankan pada ketrampilan dasar; (e) pemantauan secara kontinyu terhadap kemajuan siswa; dan (f) terumuskan tujuan sekolah secara jelas.
Dari dua pendapat di atas, setidaknya dapat dibuat sustu benang merah, sebagai penggabungan kedua pendapat tersebut mengenai ciri sekolah efektif, yaitu: (1) adanya lingkungan belajar yang aman, (2) adanya kepemimpinan instruksional yang kuat, (3) adanya pemantauan terhadap kemajuan/prestasi belajar siswa secara kontinyu, (4) adanya semangat moral staf yang tinggi, (5) adanya guru yang memiliki kemampuan belajar tinggi, (6) adanya harapan yang tinggi terhadap prestasi belajar siswa, dan (7) menekankan pada ketrampilan dasar
Pendapat lain, bahwa sebagai ukuran dasar dari pada sekolah efektif adalah jika memiliki kriteria-kriteria sebagai berikut: (Sudarwan Danim: 2012: 61-62)
  1. Mempunyai standar kerja yang tinggi dan jelas.
  2. Mendorong aktifitas, pemahaman multi budaya, kesetaraan gender, dan mengembangkan secara tepat pembelajaran menurut standar potensi yang dimiliki oleh pelajar.
  3. Mengharapkan para siswa untuk mengambil peran tanggung jawab dalam belajar dan perilaku dirinya.
  4. Mempunyai instrumen evaluasi dan penilaian hasil belajar siswa yang terkait dengan standar pelajar.
  5. Menggunakan metode pembelajaran yang berakar pada penelitian pendidikan dan suara praktik profesional.
  6. Mengorganisasikan sekolah dan kelas untuk mengkreasikan lingkungan yang bersifat memberi dukungan bagi kegiatan pembelajaran.
  7. Pembuatan keputusan secara demokratis dan akuntabilitas untuk kesuksesan siswa dan kepuasan pengguna.
  8. Menciptakan rasa aman, sifat saling menghargai, dan mengakomodasikan lingkungan secara efektif.
  9. Mempunyai harapan yang tinggi kepada semua staf untuk menumbuhkan kemampuan profesional dan meningkatkan kemampuan praktisinya.
  10. Secara aktif melibatkan keluarga di dalam membantu siswa untuk mencapai sukses.
  11. Bekerja sama atau berparner dengan masyarakat dan pihak-pihak lain untuk mendukung siswa dan keluarganya.

F.    Peranan Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Untuk Meningkatkan Sekolah Efektif.
Menurut E. Mulyasa (2013:61) mengemukakan,  bahwa setidaknya terdapat sembilan aspek yang harus diperhatikan dalam menciptakan sekolah efektif. Kesembilan aspek itu terkait dengan: perencanaan pengembangan sekolah, pengembangan guru dan staf, pengembangan peserta didik, pelibatan orang tua dan masyarakat, penghargaan dan insentif, tata tertib dan disiplin, pengembangan kurikulum dan pembelajaran, manajemen keuangan dan pembiayaan, serta pendayagunaan sarana dan prasarana sekolah. Karakteristik tersebut saling mendukung dalam mendorong terciptanya sekolah efektif.
Dari pendapat di atas, bahwa pelaksanaan atau mewujudkan sekolah efektif dapat dilakukan jika dapat mengembangkan ke sembilan komponen itu. Salah satu komponen yang harus dikembangkan dalam rangka menciptakan sekolah efektif adalah dengan mengembangkan kurikulum dan pembelajara.
Lebih lanjut E. Mulyasa mengatakan bahwa kegiatan pengembangan kurikulum dan program pembelajaran mencakup kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian kurikulum. Namun demikian perencanaan dan pengembangan kurikulum nasional pada umumnya telah dilaksanakan oleh Departemen Pendidikan Nasional pada tingkat pusat. Oleh karena itu pada level sekolah yang paling penting perannya adalah bagaimana merealisasikan dan menyesuaikan kurikulum  (SK dan KD) dengan kegiatan pembelajaran. disamping itu sekolah juga berwewenang untuk mengembangkan kurikulum muatan lokal dan life skill sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan lingkungan sekolah.
Pada titik inilah maka peran sekolah sangat esensial dalam mewujudkan dirinya sebagai pelaksana kurikulum pendidikan, sehingga apa yang menjadi misi kurikulum nasional dapat terwujud nyata dalam pelaksanaannya di sekolah. Dalam pengertia lain bahwa pengembangan kurikulum dan pengajaran di sekolah dapat menjadikan sekolah tersebut menjadi sekolah yang efektif, yaitu sekolah yang dapat mewujudkan misis kurikulum sesuai dengan yang dinginkan dalam rangka mewujudkan pengelolaan sekolah yang berkualitas.
Sejalan dengan itu lebih lanjut E. Mulyasa (2013: 81)  mengatakan bahwa sekolah merupakan ujung tombak pelaksanaan kurikulum, baik kurikulum nasional maupun kurikulum muatan lokal. Yang diwujudkan melalui proses pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, institusional, kurikuler dan instruksional. Agar proses pembelajaran dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien, serta mencapai hasil yang diharapkan, diperlukan kegiatan manajemen program pembelajaran. manajemen pembelajaran adalah keseluruhan proses penyelenggaraan kegiatan di bidang pembelajaran yang bertujuan agar seluruh kegiatan pembelajaran terlaksana secara efektif dan efisien.
Untuk menjamin efektifitas pengembangan kurikulum dan program pembelajaran, kepala sekolah sebagai pengelola program pembelajaran bersama dengan guru-guru harus menjabarkan isi kurikulum (SK-KD) secara lebih rinci dan operasional ke dalam indikator-indikator. Dalam hal ini silabus dan rencana pembelajaran (RPP) wajib dikembangkan guru sebagai pedoman dalam melakukan proses kegiatan pembelajaran.
Pada sekolah yang efektif, menurut Murphy (1985), Stedman (1985), dan McCormack-Larkin dan Kritek seperti dikutip Wayson, dkk. (1988) bahwa pengelolaan kurikulum dan pengajarannya memiliki karakteristik sebagai berikut: (1)  adanya kesempatan belajara yang memadai yang diberikan kepada peserta didik, (2) kurikulum yang terkoordinasi, (3) pembelajaran yang berlangsung secara aktif, dan (4) jelasnya fokus dan misi pendidikan di sekolah itu.
Dari berbagai penjelasan di atas menunjukkan bahwa, pengembangan kurikulum dan pembelajaran di sekolah bertujuan untuk menjabarkan kurikulum kedalam proses operasional kegiatan pembelajaran di sekolah secara tepat sasaran. Artinya bahwa pengembangan kurikulum dan pembelajaran merupakan proses yang harus dilakukan oleh sekolah dalam rangka menjamin terlaksananya kegiatan proses belajar siswa dan kegiatan mengajar guru secara efektif dan efisien sesuai standar yang ditetapkan oleh kurikulum.  Oleh karena itu dapat dikatakan pula bahwa pengembangan kurikulum dan pembelajaran merupakan suatu kegiatan sekolah yang secara nyata mendukung upaya untuk meningkatkan sekolah yang efektif, terutama terkait dengan mutu materi pembelajaran, mutu proses pembelajaran, dan juga mutu pelayanan pendidikan yang diberikan oleh sekolah kepada peserta didik. Selain itu pengembangan kurikulum dan pembelajaran juga mewujudkan sekolah efektif dengan melibatkan pihak masyarakat dalam hal ini komite sekolah dalam rangka penyusunan kurikulum muatan lokal yang harus mengakomodir kepentingan dan potensi masyarakat di sekitar sekolah.
Dalam konteks pengembangan dan perubahan kurikulum di tingkat nasional, bahwa pengembangan dan perubahan kuriukulum dapat mendukung terciptanya peningkatkan sekolah efektif melalui perubahan kinerja guru dan perubahan pola pembelajaran siswa di sekolah, jika dalam perubahan dan pengemabangan kurikulum tersebut mendapat persetujuan dari guru dan kepala sekolah. Hal ini telah dikemukakan oleh  Alan C.K. cheung dan Ping Man Wong (2011: 453) dalam penelitiannya yang berjudul: “Effects of school heads' and teachers' agreement with the curriculum reform on curriculum development progress and student learning in Hong Kong” menyimpulkan bahwa:
“Findings of this paper also suggest that teachers who agreed with the reform items made changes with their practices in terms of learning and teaching strategies, catering to learner diversity, assessment for learning, developing students’ language proficiency, cross-curricula learning, playing multiple teachers’ roles and preparation for the new senior secondary curriculum. This study thus supports most findings from the change literature with its empirical data that educational changes and innovations with the agreement and support of school heads and teachers tend to have a greater chance of succeeding”.
Dari penjelasan diatas secara sederhana dapat diterjemahkan: “Temuan dari penelitian ini juga menunjukkan bahwa guru yang setuju dengan item reformasi membuat perubahan dengan praktek-praktek dan strategi dalam hal belajar dan mengajar mereka, melayani untuk pelajar keragaman, penilaian untuk belajar, mengembangkan kemampuan bahasa, belajar lintas kurikulum siswa, bermain beberapa guru 'peran dan persiapan untuk kurikulum SLTA baru. Penelitian ini sehingga mendukung sebagian temuan dari literatur perubahan dengan data empiris bahwa perubahan pendidikan dan inovasi dengan kesepakatan dan dukungan dari kepala sekolah dan guru cenderung memiliki kesempatan lebih besar untuk berhasil”.
Yang paling penting dari informasi hasil penelitian di atas bahwa dengan adanya perubahan dan pengembangan dari suatu kurikulum adalah menyebabkan adanya perubahan bagi guru terhadap praktek dan strategi belajar mengajar, dan adanya perubahan dalam proses penilaian belajar siswa. Selain itu dengan adanya perubahan pendidikan dan inovasi kurikulum tersebut dengan dukungan kepala sekolah dan guru menyebabkan sekolah memiliki kesempatan lebih besar untuk berhasil. Dengan demikian secara umum dapat disimpulkan bahwa pengembangan kurikulum dan pembelajaran pada level apapun baik nasional maupun level sekolah, semata-mata bertujuan untuk mendorong proses pengelolaan pendidikan yang lebih berkualitas sehingga dapat mencapai tujuan yang diinginkan, artinya bahwa pengembangan kurikulum dan pembelajaran berusaha untuk meningkatkan agar sekolah menjadi efektif.
Dalam artikelnya juga Alan C.K. cheung dan Ping Man Wong (2011: 454) menyampaikan bahwa pada tahun 2001, Biro Pendidikan Hong Kong (EDB) meluncurkan reformasi kurikulum sepuluh tahun yang komprehensif dengan harapan untuk meningkatkan kemampuan belajar dan prestasi tingkat keseluruhan dari semua siswa di sektor sekolah dasar dan menengah. Reformasi juga berusaha untuk memungkinkan setiap siswa untuk mencapai seluruh pengembangan dengan mengikuti / atribut nya sendiri. Secara keseluruhan, reformasi kurikulum upaya untuk mengembangkan budaya baru belajar dan mengajar dengan menggeser dari transmisi pengetahuan dengan tujuan belajar untuk belajar, dan dengan demikian membuat dampak pada belajar siswa (Pengembangan Kurikulum Council, 2001).
Dari pendapat diatas menunjukan bahwa dengan reformasi atau perubahan kurikulum diharapkan dapat: (1) meningkatkan kemampuan dan tingkat prestasi siswa, (2) setiap siswa dapat meningkatkan pencapaian perkembangan dengan mengikuti atributnya sendiri,  dan (3) mengembangkan budaya baru dalam  mengajar guru dan belajar siswa dengan menyampaikan pengetahun  yang bertujuan agar siswa dapat belajar untuk belajar.
Yin Cheong Cheng, (1994), dalam artikelnya yang berjudul: "Effectiveness of Curriculum Change in School", pada bagian kesimpulannya mengatakan bahwa, perubahan kurikulum bertujuan untuk memaksimalkan efektivitas mengajar dan belajar melalui perubahan konten yang direncanakan, kegiatan dan pengaturan untuk proses pendidikan. Selain itu juga dikatakan bahwa, konsepsi efektivitas kurikulum adalah untuk  mengidentifikasi pendekatan untuk memaksimalkan efektivitas mengajar dan efektivitas belajar melalui perubahan kurikulum.
Dari penjelasan di atas menunjukkan dengan jelas bahwa, pada hakekatnya perubahan (atau juga pengembangan) kurikulum bertujuan untuk memaksimalkan efektifitas mengajar guru dan efektifitas belajar siswa di sekolah. Artinya dapat disimpulkan bahwa perubahan atau pengembangan kurikulum dapat meningkatkan sekolah efektif.
Dengan demikian, maka pengembangan kurikulum dan pembelajaran di level sekolah harus mengarak kepada tujuan dalam rangka meningkatkan efektifitas sekolah atau mendukung terciptanya sekolah efektif. Oleh karena itu mengakhiri pembahasan ini, akan dikemukakan bahwa karakteristik dari kurikulum sekolah yang efektif memiliki indikator-indikator sebagai berikut: (E. Mulyasa, 2013: 83-84)
  • Pengembangan kurikulum memperhatikan aspek kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual secara proporsional.
  • Pejabaran kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) dilaksanakan atas inisiatif, usaha mandiri, dan kreatifitas setiap guru.
  • Guru konsisten mengacu kepada kurikulum dalam mengembangkan perangkat pembelajaran.
  • Kurikulum dapat dipahami dengan mudah oleh guru dalam merencanakan pembelajaran di kelas.
  • Unit pelajaran diringkas untuk mempermudah peserta didik mempelajari dan disediakan lengkap dengan jadwal waktunya.
  • Rencana pembelajaran secara berkala diperiksa oleh kepala sekolah, baik isi maupun kecocokannya, dan dikomunikasikan kepada peserta didik.
  • Sumber belajar cukup memadai dalam mendukung pembelajaran.
  • Pembelajaran IPTEK dikaitkan  dengan pembelajaran IMTAQ.
  • Program remedial dilaksanakan  bagi peserta didik yang berkemampuan rendah.
  • Program pengayaan diberikan kepada peserta didik yang berkemampuan di atas rata-rata peserta didik lainnya.
  • Tersedia sumber-sumber dan sentra-sentra belajar baik di ruangan perpustakaan, ruang kelas, taman, maupun tempat tertentu di lingkungan sekolah.
  • Tersedia jaringan kerja sama dengan sumber dan sentra belajar di luar sekolah, termasuk kerja sama dengan lembaga, tempat atau program tertentu dalam rangka pembelajaran berbasis lingkungan.
  • Memanfaatkan tenaga berpengalaman, sebagai nara sumber baik untuk penguatan kapasitas guru dalam mengajar maupun dalam membagi pengalaman sukses yang terkait dengan kompetensi dasar tertentu yang perlu dimiliki peserta didik.

G.    Kesimpulan
Berdasarkan pembehasan di atas, maka dapat dibuat beberapa kesimpulan sebagai berikut:
  1. Pengembangan kurikulum merupakan bagian yang esensial dari pada program pendidikan. Sasaran yang ingin dicapai bukanlah semata-mata memproduksi bahan pelajaran melainkan lebih untuk meningkatkan kualitas pendidikan. pengembangan kurikulum juga menyangkut banyak faktor, mempertimbangkan isu-isu mengenai kurikulum, siap yang dilibatkan, bagaimana prosesnya, apa tujuannya, kepada siapa kurikulum itu di tujukan.
  2. Istilah yang digunakan untuk menyatakan tujuan pengembangan kurikulum adalah goals dan objectives. Tujuan sebagai goals dinyatakan dalam rumusan yang lebih abstrak dan bersifat umum, dan pencapaiannya relatif dalam jangka panjang.  Adapun tujuan sebagai objectives, lebih bersifat khusus, operasional, dan pencapaiannya dalam jangka pendek. Tujuan pengembangan kurikulum adalah untuk menentukan arah seluruh upaya kependidikan sekolah atau unit organisasi lainnya, sekaligus menstimulasi kualitas yang diharapkan.
  3. Sekolah efektif merupakan sekolah yang mampu  mewujudkan tujuan pembelajaaran di sekolah secara maksimal kepada peserta didik yaitu mampu mewujudkan pengembangan kemampuan siswa yang berkualitas tinggi, sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan dengan memanfaatkan seluruh sumber daya yang ada secara maksimal. Sekolah efektif akan sangat berbeda kualitasnya dengan sekolah lain yang tidak efektif, walaupun memiliki sumber daya pendukung yang relatif sama.
  4. Ciri sekolah efektif, antara lain yaitu: (1) adanya lingkungan belajar yang aman, (2) adanya kepemimpinan instruksional yang kuat, (3) adanya pemantauan terhadap kemajuan/prestasi belajar siswa secara kontinyu, (4) adanya semangat moral staf yang tinggi, (5) adanya guru yang memiliki kemampuan belajar tinggi, (6) adanya harapan yang tinggi terhadap prestasi belajar siswa, dan (7) menekankan pada ketrampilan dasar
  5. Perubahan (atau juga pengembangan) kurikulum bertujuan untuk memaksimalkan efektifitas mengajar guru dan efektifitas belajar siswa di sekolah. Artinya dapat disimpulkan bahwa perubahan atau pengembangan kurikulum dapat meningkatkan sekolah efektif.


DAFTAR PUSTAKA
  1. Mulyasa, E., 2013. Manajemen dan Kepemimpinan Kepala Sekolah. Cetakan ketiga. Jakarta: Bumi Aksara.
  2. Wolven, Robin. 2013. ),"Curriculum development resources for teachers and school librarians: a selection of resources". Volume 27 • Number 6 • 2013 • pp. 4-9 q Emerald Group Publishing Limited • ISSN 0950-4125 DOI 10.1108/RR-01-2013-0003
  3. Danim, Sudarwan. 2012. Visi Baru Manajemen Sekolah; Dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akademik. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
  4. Alan C.K. Cheung Ping Man Wong, 2011. "Effects of school heads' and teachers' agreement with the curriculum reform on curriculum development progress and student learning in Hong Kong", International Journal of Educational Management, Vol. 25 Iss 5 pp. 453 – 473. q Emerald Group Publishing Limited 0951-354X DOI 10.1108/09513541111146369.
  5. Daryanto.  2011. Kepala Sekolah Sebagai Pemimpin Pembelajaran. cetakan pertama. Yogyakarta: Penerbit Gavamedia.
  6. Hamalik, Oemar. 2008. Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum. Cetakan kedua. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
  7. Cheng, Yin Cheong. 1994. ),"Effectiveness of Curriculum Change in School", International Journal of Educational Management, Vol. 8 Iss 3 pp. 26 – 34.



Peran Kepala Sekolah Untuk Memotivasi Guru


Lembaga pendidikan formal seperti sekolah pada dasarnya, dilahirkan ditengah-tengah masyarakat tidak lain adalah sebagai upaya masyarakat untuk mengembangkan mutu sumber daya manusia sehingga bisa berkualitas, untuk memenuhi tuntutan kebutuhan hidupa manusia hari ini dan  hari esok. Oleh karena itu maka suatu hal yang sangat wajar jika masyarakat sangat menggantungkan harapan yang sangat besar kepada lembaga sekolah, dalam rangka mendidik dan melatih peserta didik yang memilki keunggulan utuk membangun masyarakat masa depan yang lebih maju dan lebih unggul.
Namun demikian ada banyak hal yang perlu diperhatikan  oleh sekolah dalam rangka mengaktualisasikan tujuan pendidikan yang menjadi cita-cita masyarakat tersebut. Salah satu faktor yang berpengaruh langsung terhadap pengelolaan lembaga sekolah adalah kualitas para pengelola lembaga pendidikan tersebut. Adapun yang dimaksud dengan tenaga pengelola lembaga sekolah adalah meliputi kepala sekolah sebagai pimpinan, tenaga pengajar (pendidik), dan tenaga administrati (kependidikan).
Kepala sekolah merupakan pemimpin yang bertanggung jawab penuh terhadap seluruh proses yang berlangsung di sekolah. Oleh karena itu kepala sekolah dituntut untuk memiliki kemampuan yang memadai, sehingga mampu menggerakkan seluruh komponen sumber daya yang ada di sekolah dalam rangka untuk mencapai keberhasilan lembaga sekolah, sesuai dengan program yang telah ditetapkan sebelumnya.
Berkaitan dengan tugas kepala sekolah sebagai pemimpin ini, Danim dan Suparno (2009) seperti dikutip Andang (2014: 38), menjelaskan  bahwa kepemimpinan di definisikan sebagai kemampuan mempengaruhi dan memberi arah yang terkandung dalam diri pemimpin. Dengan demikian sebagai pemimpin kepala sekolah harus memiliki kemampuan dalam dirinya untuk mempengaruhi dan memberi arahan kepada seluruh komponen pengelola sekolah untuk menggunakan seluruh sumberdaya yang ada agar digerakkan untuk mencapai tujuan sekolah.

Sementara itu guru merupakan salah satu penggerak dan pelaksana dalam kegiatan pembelajaran di sekolah. Tanpa guru yang disebut sebagai tenaga pendidik maka pelaksanaan pembelajaran tidak berjalan sebagaimana yang diharakan (Kompri, 2015: 127). Sejalan dengan itu, Andang (2014: 214) menyatakan bahwa yang menjadi tanggung jawab utama guru adalah melaksanakan kegiatan pendidikan di sekolah dalam bentuk mengajar, membina, dan mendidik siswa. Kegiatan belajar mengajar menempatkan guru sebagai ujung tombak yang menentukan sukses tidaknya pendidikan di sekolah.
Begitu besarnya peran guru sebagai pengajar dan pendidik, dikemukakan oleh sugeng harus diakui bahwa kemajuan di bidang pendidikan sebagian besar tergantung pada kewenangan dan kemampuan staf pengajar (guru) (Daryanto, 2011: 208).
Menurut Sugeng, seperti dikutip Daryanto (2011: 208) menjelaskan bawa realitas di sekolah ironisnya pihak pimpinan sekolah justru direpotkan oleh masalah guru ketimbang persoalan peningkatan mutu dan pengembangan sekolah.
Bekaitan dengan pelaksanaan pendidikan di Indonesia secara umum, Daryanto (2011: 205) mengutip penjelasan Sumargi (1996) mengemukakan bahwa adanya kemerosotan pendidikan di Indonesia akhir-akhir ini (walaupun telah dilakukan pergantian kurikulum sejak kurikulum 1976) bukan diakibatkan oleh kurikulum, tetapi oleh kurangnya kemampuan profesionalisme guru. Sementara itu  ada dua faktor besar yang mempengaruhi profesionalisme guru, yaitu faktor internal yang meliputi minat dan bakat dan faktor eksternal yang berkaitan dengan lingkungan sekitar, sarana prasarana, serta berbagai latihan yang dilakukan oleh guru. Selanjutnya Purwanto (2002) seperti dikutip Daryanto (2011: 209), menyatakan bahwa permasalahan guru langsung atau tidak langsung berkaitan dengan masalah profesionalisme guru yang belum memadai. Padahal sudah sangat jelas  hal tersebut  menentukan mutu pendidikan nasional. Mutu pendidikan nasional rendah, salah satu penyebabnya adalah mutu guru yang rendah. Ini menyangkut tentang kinerja guru. Secara umum dapat dikatakan bahwa kinerja guru rendah.
Sementara itu Sutermesiter, serti dalam Dessler (1997) berpendapat bahwa “employees’ job performance areconsidered to result from abiliti and motivation” bahwa kinerja merupakan hasil dari kemampuan dan motivasi. Sejalan dengan itu, Sulistyani (2004) seperti dikutip Daryanto (2011: 2010) mempertegas bahwa persoalan motivasi dalam birokrasi good goverment perlu digarap dengan serius. Mengingat peran, fungsi maupun posisi pegawai dalam rangka menopang produktifitas, efisiensi dan keefektifan untuk mencapai kinerja yang baik, maka program  motivasi sebagai bagian intergral.
Robbin (1984) mengatakan bahwa “people who are motivated accept a greater effort to perform than those who are not notivated”. Orang yang termotivasi akan melakukan usaha yang lebih besar daripada yang tidak termotivasi.
Bekaitan dengan hal di atas, maka salah satu upaya untuk meningkatkan profesionalisme guru adalah dengan meningkatkan kinerja guru. Selanjutnya untuk meningkatkan kinerja guru salah satu yang diusahakan adalah meningkatkan motivasi guru, disisi lain yang tidak kalah pentingnya dibarengi dengan peningkatan kemampuan (kompetensi) keguruan.
Untuk memotivasi guru, maka peran kepala sekolah sebagai pemimpin sangat sentral. Oleh karena itu dalam tulisan (makalah ini) sangat perlu untuk dibahas tentang peran kepala sekolah dalam meningkatkan kinerja guru melalui pemberian motivasi kepada guru. Pemberian motivasi kepada guru oleh kepala sekolah, tentunya harus didasari dengan pemahaman yang proporsional dan cukup tentang hakekat motivasi, teori-teori motivasi ( terutama teori X dan Y, teori dua faktor,  dan teori tiga kebutuhan), serta hal-hal lain yang mempengaruhi motivasi. Sehingga motivasi yang diberikan oleh kepala sekolah kepada guru dapat dilakukan dengan tepat dan berhasil dengan baik.

A.    PENGERTIAN MOTIVASI
Untuk lebih mememahami pengertian motivasi, akan kami kemukakan beberapa pendapat tentang pengertian motivasi, sebagai berikut:
  1. Menurut Makawimbang, J.H. (2012: 176), secara umum motivasi diartikan sebagai kebutuhan yang mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan kearah suatu tujuan.
  2. Menurut Syah, seperti di kutip oleh Makawimbang, J.H. (2012: 176) bahwa pengertian dasar motivasi adalah keadaan internal organisme baik manusia maupun hewan yang mendorongnya untuk berbuat sesuatu.
  3. Wahjosumidjo berpendapat bahwa motivasi merupakan suatu proses psikologis yang mencerminkan interaksi antara sikap, keputusan, persepsi, dan keputusan yang terjadi pada diri seseorang itu sendiri (intrinsik) atau faktor diluar diri seseorang (ekstrinsik). Jadi bagi seseorang dalam berbuat sesuatu, disebabkan oleh karena adanya keinginan yang kuat dari dalam dirinya  untuk mencapai sesuatu tersebut. Tetapi keduanya timbul karena adanya rangsangan (Makawimbang, J.H., 2012: 177).
  4. Menurut Callahan and Clark (1988), dikutip oleh Mulyasa, E. (2013: 143) mengemukakan bahwa motivasi adalah tenaga pendorong atau penarik yang menyebabkan adanya tingkah laku ke arah tujuan tertentu.
  5. Maslow (1970), dalam Mulyasa, E. (2013: 144) mengemukakan bahwa motivasi adalah tenaga pendorong dari dalam yang menyebabkan manusia berbuat sesuatu atau berusaha untuk memenuhi kebutuhannya.
    Dari beberapa pendapat yang dikemukakan di atas maka penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa, motivasi adalah suatu tekanan atau dorongan dari dalam diri (psikologis) seseorang, karena adanya rangsangan tertentu dalam rangka untuk melakukan sesuatu tindakan untuk memenuhi tujuan yang ingin dicapai. Atau dengan kata lain dapat pula dikatakan bahwa motivasi adalah hal dari dalam diri individu yang menjadi penyebab dari individu tersebut melakukan sesuatu.
    Untuk lebih realistis dan lebih dipahami dalam konteks pengelolaan organisasi, maka berikut akan dikemukakan beberapa pengertian motivasi menurut pada ahli, sebagai berikut:
  1. Siagian mengemukakan bahwa yang dimaksud motivasi adalah adanya pendorong yang mengakibatkan seseorang anggota organisasi mau dan rela untuk menggunakan kemampuan dalam bentuk keahlian atau ketrampilan tenaga dan waktu untuk menggunakan berbagai kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya serta menunaikan kewajibannya dalam rangka mencapai tujuan dan berbagai sasaran organisasi yang telah ditentukan sebelumnya (Makawimbang, J,H., 2012: 177).
  2. Sedangkan Stephen R Robins seperti dikutip Makawimbang, J,H., (2012: 177) berpendapat bahwa motivasi merupakan kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi ke arah tujuan-tujuan organisasi, yang dikondisikan oleh kemampuan upaya itu untuk memenuhi suatu kebutuhan individual.
  3. Bittle seperti dikutip Makawimbang, J,H., (2012: 178) mengemukakan bahwa motivasi adalah proses yang menyebabkan seseorang berperilaku dengan cara tertentu dalam rangka memenuhi kebutuhan yang sangat individual
    Lebih lanjut seperti dikutip Mulyasa, E. (2013: 144), Owen, Cs. (1981) menyatakan bahwa ada dua jenis motivasi yaitu motivasi intrinsik, dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah motivasi yang datang dari dalam diri seseorang, misalnya tenaga pendidikan melakukan sesuatu kegiatan karena ingin menguasai suatu ketrampilan tertentu yang dipandang akan berguna dalam pekerjaannya. Motivasi ekstrinsik berasal dari lingkungan di luar diri seseorang, misalnya tenaga kependidikan bekerja karena ingin mendapat pujian atau ingin mendapat hadiah dari pemimpinnya.

B.    UNSUR-UNSUR MOTIVASI.
Stephen P Robbin (1996:198) mendefinisikan motivasi : kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi ke arah tujuan organisasi, yang dikondisikan oleh kemampuan upaya itu untuk memenuhi sesuatu kebutuhan individual”.
Berdasarkan definisi motivasi dari Stephen P Robbin (1996:198), maka motivasi memiliki tiga unsur kunci, yaitu upaya/ effort, tujuan organisasi/ organizational goals, dan kebutuhan/ need. (http://nathaliatholense.blogspot.co.id/ 2010/11/3-unsur-dalam-motivasi.html)
1.    Unsur effort, merupakan ukuran intensitas, bila seseorang termotivasi, maka ia akan mencoba sekuat tenaga untuk mendapatkan apa yang dinginkannya. Upaya yang tinggi dan pekerjaan disalurkan pada arah yang benar dan bermanfaat akan membawa pada hasil kierja yang tinggi dan menguntungkan bagi perusahaan.dengan mempertimbangkan kualitas dan upaya (effort) maupun intensitasnya, dan konsisten dengan arah dan tujuan organisasi (organizational goals) maka motivasi menjadi sangat penting posisinya sebagai sebuah proses pemenuhan kebutuhan.
2.    Sedangkan kebutuhan (needs) adalah suatu keadaan internal yang menyebabkan hasil hasil tertentu tampak menarik. Suatu kebutuhan yang tak terpuaskan akan menciptakan tegangan tegangan yang merangsang dorongan didalam diri tiap individu. Dorongan ini menimbulkan suatu prilaku pencarian untuk menemukan tujuan tujuan tertentu yang jika tercapai kebutuhan tersebut, maka akan terjadi pengurangan tegangan.
3.    Pegawai yang termotivasi berada dalam kondisi tegang,untuk mengendurkan tegangan ini,mereka mengeluarkan upaya. Makin besar tegangan, makin tinggi tingkat upaya itu. Jika upaya ini berhasil menghantar pada pemenuhan kebutuhan tersebut, maka tegangan akan dikurangi. Karena proses motivasi ini kepentingannya dengan prilaku kerja, maka pengurangan tegangan harus diarahkan pada tujuan tujuan organisasi dan motivasi menjadi persyaratan bahwa kebutuhan individu itu sesuai (compatible) dan konsisten dengan tujuan organisasi.
Adapun menurut arif akbar muhamad pada Agustus 1, 2011 (https://arifakbarmuhamad.wordpress.com/2011/08/01/unsur-unsur-dan-tipe-motivasi/) Motivasi diartikan sebagai stiap kekuatan yang muncul dari diri individu untuk mencapai tujuian tertentu di lingkungan dunia kerja.
Adapun Unsur-unsur motivasi diantaranya adalah :
1.    Tujuan
Manusia adalah makhluk bertujuan, meskipun tidak ada manusia yang mempunyai tujuan yang benar-benar sama di dalam mengarungi hidup, de4mikian juga organisasi, pasti mempunyai tujuan. Idealnya semua manusia organisasional memiliki motivasi yang tinggi. Manusia organisasional yang memiliki motivasi tinggi sadar bahwaantara tujuan dirinya dengan tujuan organisasi sama sekali tidak terpisahkan walaupun terpisahkan tidak terlalu senjang.
2.     Kekuatan Dari Dalam Diri Manusia
Manusia adalah insane yang memiliki energi, apakah itu energi fisik, otak, mental, maupun spiritual. Energi-energi tersebut berakumulasi dan menjelma daklam bentuk dorongan batin untuk mendorong seseorang melakukan sesuatu tugas secara tepat waktu. Manusia organisasional bekerja di dalam organisasi semata-mata karena terpanggil untuk berbuat tanpa mengingkari ada maksud-maksud yang ingin dicapai dalam pekerjaan, seperti gaji dan mengisi waktu luang.
3.    Keuntungan
Bahwa manusia manusia bekerja ingin mendapatkan keuntungan, pemikiran ini sangat manusiawi. Meski harus dihindari pemikiran seperti ini yang hanya ingin bekerja manakala ada keuntungna langsung di peroleh. Keuntungan ini akan menjadi sumber bahayabagi manusia organisasional. Manusia organisasional adalah makhluk normal yang taraf pengabdiannya tinggi sekalipun, dalam proses kerja tidak terlepas dari adanya hasrat ingin meraih sesuatu. Kebijakan manajemen yang bermutu merupakan kunci utama bagi organisasi manusia yang ingin mencapai tujuan hidup. Adapun salah satu ciri manajemen yang baik adalah adanya perencanaan yang baik yang disusun sesuai dengan potensi pendukung untuk mencapai tujuan yang dicapai. Manajer dalam pelaksanaan tugasnya tidak berdiri sendiri, akan tetapi terikat dengan pengikut-pengikutnya.

C.    FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MOTIVASI
Motivasi sebagai proses batiniah atau proses fisikologis pada seseorang selain dipengaruhi oleh faktor-faktor ekstern (faktor sosial), juga dipengaruhi oleh faktor interen (faktor bawaan) yang melekat pada diri seseorang seperti pembawaan, tingkat pendidikan, pengalaman, masa lampau, penghargaan masa depan. Ada yang berpendapat antara lain:”motivasi dipengaruhi oleh faktor kerjanya (pemimpin dan bawahan) (Makawimbang, J.H., 2012: 183).
Selanjutnya Prasetya Ferilian (2011: http://prasetyaferilian.blogspot.co. id/2011/11/faktor-faktor-yang-mempengaruhi.html) menjelaskan lebih rinci tentang faktor-faktor yang mempegaruhi motivasi, sebagai berikut:
  1. Faktor Ekstern, meliputi: Lingkungan kerja, Pemimpin dan kepemimpinannya,    Tuntutan perkembangan organisasi atau tugas, dan Dorongan atau bimbingan atasan
  2. Faktor Intern, meliputi: Pembawaan individu, Tingkat pendidikan, Pengalaman masa lampau, dan Keinginan atau harapan masa depan
Kemudian Dirgagunarsa, seperti dikutip Makawimbang, J.H., (2012: 183-184) bahwa unsur-unsur yang mempengaruhi motivasi dapat dilihat dari dua sisi, yaitu unsur-unsur yang berpengaruh dari pimpinan, antara lain: (1) kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah ditetapkan, (2) persyaratan kerja yang perlu dipenuhi oleh para bawahan, (3) tersedianya seperangkat alat-alat yang diperlukan dalam pelaksanaan pekerjaan, (4) gaya kepemimpinan atasan terhadap bawahan. Sisi yang lain adalah unsur-unsur yang berpengaruh dari bawahan terhadap motivasi antara lain: (1) Kemampuan bekerja, (2) semangat atau moral kerja, (3) rasa kebersamaan dalam kehidupan kelompok, (4) prestasi dan produktifitas pekerja.
Sumber lain mengungkapkan, bahwa didalam motivasi itu terdapat suatu rangkaian interaksi antar berbagai faktor. Berbagai faktor yang dimaksud meliputi :
  1. Individu dengan segala unsur-unsurnya : kemampuan dan ketrampilan, kebiasaan, sikap dan sistem nilai yang dianut, pengalaman traumatis, latar belakang kehidupan sosial budaya, tingkat kedewasaan, dsb.
  2. Situasi dimana individu bekerja akan menimbulkan berbagai rangsangan: persepsi individu terhadap kerja, harapan dan cita-cita dalam keja itu sendiri, persepsi bagaimana kecakapannya terhadap kerja, kemungkinan timbulnya perasaan cemas, perasaan bahagia yang disebabkan oleh pekerjaan.
  3. Proses penyesuaian yang harus dilakukan oleh masing-masing individu terhadap pelaksanaan pekerjaannya.
  4. Pengaruh yang datang dari berbagai pihak : pengaruh dari sesama rekan, kehidupan kelompok maupun tuntutan atau keinginan kepentingan keluarga, pengaruh dari berbagai hubungan di luar pekerjaan
  5. Reaksi yang timbul terhadap pengaruh individu
  6. Perilaku atas perbuatan yang ditampilkan oleh individu
  7. Timbulnya persepsi dan bangkitnya kebutuhan baru, cita-cita dan tujuan

Dari beberapa pendapat di atas dapat simpulkan secara umum bahwa motivasi kerja seseorang (misalnya seorang guru) dipengaruhi oleh 2 faktor, yaitu faktor dari dalam diri pribadi eksternal) dan faktor dari luar diri pribadi (eksternal). Adapun faktor internal, meliputi antara lain yaitu potensi yang ada pada diri individu; kerrampilan, masa lalu, pengalaman kerja, cara bersosialisasi, cara menanggapi masalah, harapan akan masa depan,  penampilan diri, konsep diri, keinginan-keinginan, dan lain-lain yang dapat mempengaruhi psikologi pribadi. Sedangkan faktor luar (eksternal) yang mempengaruhi motivasi kerja adalah lingkungan yang ada diluar diri pribadi yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi psikologi individu. Secara umum faktor eksternal itu adalah faktor lingkungan sosial dan lingkungan fisik. Faktor sosial, misalnya: pimpinan dan rekan kerja, sedangkan faktor lingkungan fisik, misalnya: sarana fisik tempat kerja, kelengkapan alat-alat untuk bekerja, dan lain-lain.

D.    TIPE-TIPE MOTIVASI
        Motivasi merupakan fenomena hidup yang banyak corak dan ragamnya. Secara umum motivasi dapat di klasifikasikan menjadi empat jenis. Diantaranya adalah : (https://arifakbarmuhamad.wordpress.com/2011/08/01/unsur-unsur-dan-tipe-motivasi/)
1.    Motivasi Positif
“ Bekerjalah dengan baik !!! Kalau nanti target keuntungan tercapai, Anda akan di beri bonus !! Demikian pernyataan manajer terhadap bawahannya supaya bekerja dengan baik.. “ Dari kutipan manajer tersebut dapat di simpulkan bahwa motivasi positif adalah Suatu usaha untuk membangkitkan motif dan di arahkan pada usaha untuk mempengaruhi seseorang agar bekerja dengan baik dan antusias dengan cara memberikan keuntungan kepadanya.
Jenis-jenis motivasi positif antara lain :
•    Imbalan yang menarik
•    Informasi tentang pekerjaan
•    Kedudukan atau jabatan
•    Perhatian atasan terhadap bawahan
•    Kondisi kerja
•    Rasa partisipasi
•    Dianggap penting
•    Pemberian tugas dan tanggung jawabnya
•    Pemberian kesempatan untuk tumbuh dan berkembang
2.    Motivasi negative
“ Siapa saja yang sering terlambat datang atau sering membolos akan di potong gajinya, dan jangan berharap Anda akan di promosikan. “. Jadi dapat disimpulkan bahwa motivasi negative adalah motivasi yang bersumber dari rasa takut. Motivasi yang berlebihan akan membuat organisasi tidak mampu mencapai tujuan.
3.    Motivasi dari dalam
“ Saya bekerja karena terpanggil untuk itu !! Ada atau tidak ada pimpinan ditempat, saya akan tetap akan bekerja, sesuai dengan target dan tanggung jawab saya !!. Statemen itu mencerminkan kuatnya motivasi dari dalam yang terkandung pada diri karyawan. Jadi motivasi dari dalam adalah motivasi yang berdasarkan kesadaran seseorang dalam bertanggung jawab terhadap pekerjaannya. Dengan demikian berarti juga bahwa kesenangan pekerja muncul pada waktu dia bekerja dan dia sendiri menyukai pekerjaan itu. Baginya berbuat adalah suatu kewajiban, paksaan, imbalan yang bersifat ekternal lainnya memang penting, akan tetapi tidaklah lebih penting ketimbang aspek-aspek nirmaterial.
4.    Motivasi dari luar
Motivasi dari luar adalah motivasi yang muncul sebagai akibat adanya pengaruh yang ada di luar pekerjaan dan dari luar diri pekerja. Biasanya motivasi ini semata-mata di dorong oleh adanya sesuatu yang ingin di capai dan bersumber dari factor-faktor di luar subjek.

E.    TEORI-TEORI MOTIVASI
1.    Teori X dan teori Y (McGregor).
Teori X dan Teori Y adalah teori motivasi manusia diciptakan dan dikembangkan oleh Douglas McGregor di Sloan School of Management MIT pada tahun 1960 yang telah digunakan dalam manajemen sumber daya manusia, perilaku organisasi, komunikasi organisasi dan pengembangan organisasi. (https://id.wikipedia.org/wiki/ Teori_X_dan_teori_Y)
Selanjutnya Mulyasa, E., (2013: 148-149) menjelaskan bahwa, menurut McGregor ciri-ciri organisasi tradisional pada dasarnya bertolak dari asumsi mengenai sifat dan motivasi manusia. Menurut McGregor teori X menganggap sebagian besar manusia lebih suka diperintah serta tidak tertarik akan rasa tanggung jawab, dan masih bersifat anak-anak. Orang-orang yang tergolong dalam teori X, pada hakekatnya tidak menyukai bekerja, berkemampuan kecil untuk mengatasi masalah-masalah organisasi, hanya membutuhkan motivasi fisiologis saja, oleh karena itu perlu diawasi secara ketat. Diakui teori X ada kelemahannya, maka McGregor memberikan alternatif yaitu teori Y. Teori Y adalah sebaliknya, manusia itu suka bekerja, dapat mengontrol diri  sendiri, mempunyai kemampuan untuk berkreatifitas. Oleh karena itu orang semacam ini tidak perlu diawasi (Mulyasa, E., 2013: 148-149).
Selanjutnya teori X dan Y ini mengemukakan strategi kepemimpinan efektif dengan menggunakan konsep manajemen partisipasi. Konsep terkenal dengan menggunakan asumsi-asumsi sifat dasar manusia. Pemimpin yang menyukai teori X cenderung menyukai gaya kepemimpinan otoriter dan sebaliknya, seorang pemimpin yang menyukai teori Y lebih menyukai gaya kepemimpinan demokratik. Untuk kriteria karyawan yang memiliki tipe teori X adalah karyawan dengan sifat yang tidak akan bekerja tanpa perintah, sebaliknya karyawan yang memiliki tipe teori Y akan bekerja dengan sendirinya tanpa perintah atau pengawasan dari atasannya. Tipe Y ini adalah tipe yang sudah menyadari tugas dan tanggung jawab pekerjaannya (https://id.wikipedia.org/wiki/ Teori_X_dan_teori_Y).
2.    Teori Motivasi Dua Faktor (Herzberg).
Menurut Makawimbang, J.H., (2012: 180), menjelaskan bahwa teori ini dikembangkan oleh Hezberg. Menurut Hezberg bahwa motivasi diberikan jika digunakan motivator yang berfungsi. Teori ini disebut juga teori penelitian motivasi dimana ada dua macam situasi yang berpengaruh terhadap semua individu yaitu kelompok satisfiers atau motivation dan kelompok dissatisfies atau hygiene factors. Satisfiers adalah situasi atau faktor-faktor yang merupakan kepuasan kerja sedangkan dissatisfies adalah faktor-faktor yang menjadi number ketidakpuasan, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut:
  • Faktor Higiene:  Gaji,  Kondisi, Kerja Kebijakan, Perusahaan, Penyeliaan  dan Kelompok Kerja.
  • Motivator: Kemajuan, Perkembangan, Tanggung jawab, Prestasi dan Pekerjaan itu sendiri.
    Selanjutnya Mulyasa E., (2013: 147-148), menjelaskan bahwa menurut Hezberg ada dua faktor penting yang mempengaruhi produktifitas kerja seseorang yakni, faktor hygiene (lingkungan) dan faktor motivator (pekerjaan itu sendiri). Faktor hygiene sebenarnya bersifat prefentif dan memperhitungkan lingkungan yang berhubungan dengan kerja. Faktor ini hampir sama dengan kebutuhan-kebutuhan terrendah dari hirarki Maslow. Faktor hygiene  bersifat preventif terhadap  ketidakpuasan dan rendahnya motivasi tenaga kependidikan dalam bekerja. Adapun faktor yang dapat memotivasi tenaga kependidikan adalah yang disebut dengan faktor motivator. Faktor motivator yang dikemukakan oleh Herzberg hampir sama dengan kebutuhan tertinggi dari hirarki kebutuhan Maslow.
Selanjutnya penjelasan lain mengatakan bahwa, Frederick Herzberg menyatakan bahwa ada faktor-faktor tertentu di tempat kerja yang menyebabkan kepuasan kerja, sementara pada bagian lain ada pula faktor lain yang menyebabkan ketidakpuasan. Dengan kata lain kepuasan dan ketidakpuasan kerja berhubungan satu sama lain.Faktor-faktor tertentu di tempat kerja tersebut oleh Frederick Herzberg diidentifikasi sebagai hygiene factors (faktor kesehatan) dan motivation factors (faktor pemuas) (http://saptini.weblog.esaunggul.ac.id /2013/12/24/teori-2-faktor-herzberg/ )
1.    Hygiene Factors
Hygiene factors (faktor kesehatan) adalah faktor pekerjaan yang penting untuk adanya motivasi di tempat kerja. Faktor ini tidak mengarah pada kepuasan positif untuk jangka panjang. Tetapi jika faktor-faktor ini tidak hadir, maka muncul ketidakpuasan. Faktor ini adalah faktor ekstrinsik untuk bekerja. Faktor higienis juga disebut sebagai dissatisfiers atau faktor pemeliharaan yang diperlukan untuk menghindari ketidakpuasan. Hygiene factors (faktor kesehatan) adalah gambaran kebutuhan fisiologis individu yang diharapkan untuk dipenuhi. Hygiene factors (faktor kesehatan) meliputi gaji, kehidupan pribadi, kualitas supervisi, kondisi kerja, jaminan kerja, hubungan antar pribadi, kebijaksanaan dan administrasi perusahaan.
Menurut Herzberg faktor hygienis/extrinsic factor tidak akan mendorong minat para pegawai untuk berforma baik, akan tetapi jika faktor-faktor ini dianggap tidak dapat memuaskan dalam berbagai hal seperti gaji tidak memadai, kondisi kerja tidak menyenangkan, faktor-faktor itu dapat menjadi sumber ketidakpuasan potensial (Cushway & Lodge, 1995 : 139).
2.    Motivation Factors
Faktor motivasi harus menghasilkan kepuasan positif. Faktor-faktor yang melekat dalam pekerjaan dan memotivasi karyawan untuk sebuah kinerja yang unggul disebut sebagai faktor pemuas. Karyawan hanya menemukan faktor-faktor intrinsik yang berharga pada motivation factors (faktor pemuas). Para motivator melambangkan kebutuhan psikologis yang dirasakan sebagai manfaat tambahan. Faktor motivasi dikaitkan dengan isi pekerjaan mencakup keberhasilan, pengakuan, pekerjaan yang menantang, peningkatan dan pertumbuhan dalam pekerjaan.
Faktor motivation/intrinsic factor merupakan faktor yang mendorong semangat guna mencapai kinerja yang lebih tinggi. Jadi pemuasan terhadap kebutuhan tingkat tinggi (faktor motivasi) lebih memungkinkan seseorang untuk berforma tinggi daripada pemuasan kebutuhan lebih rendah (hygienis) (Leidecker & Hall dalam Timpe, 1999 : 13). Adapun yang merupakan faktor motivasi menurut Herzberg adalah: pekerjaan itu sendiri (the work it self), prestasi yang diraih (achievement), peluang untuk maju (advancement), pengakuan orang lain (ricognition), tanggung jawab (responsible). Berdasarkan teori Herzberg di atas, secara umum factor hygienis seperti gaji dan hubungan rekan kerja mendukung karyawan untuk bertahan di tempat bekerja. Gaji hanya hanya akan menghasilkan motivasi jangka pendek. Tetapi tidak di dukung factor motivasi seperti pengangkatan karyawan tetap. Sehingga menyebabkan penurunan motivasi karyawan dalam bekerja.
3.    Teori Tiga Kebutuhan (McClelland).
Teori tiga kebutuhan dikemukakan oleh McClelland. Menurut McClelland yang dikutip oleh kertonegoro bahwa ada tiga motif utama manusia dalam bekerja, yaitu: (1) Kebutuhan untuk mencapai basil (need for achievemen/n-ach) merupakan dorongan untuk berhasil mencapai tujuan. (2) Kebutuhan akan kekuasaan  (need for power /n-pow) merupakan kebutuhan untuk membuat pihak lain berperilaku sesuai dengan kehendaknya. (3) Kebutuhan untuk aplikasi (needs of afiliation/naff) merupakan keinginan akan hubungan persahabatan dan antar pribadi (Makawimbang, J.H., 2012: 181).
Dari teori  di atas,  Makawimbang, J.H., (2012: 181) menyimpulkan bahwa manusia pada hakikatnya mempunyai kemampuan untuk berprestasi di atas kemampuan orang lain. Seseorang dianggap mempunyai motivasi untuk berprestasi jika mempunyai keinginan untuk melakukan sesuatu karya yang berprestasi lebih baik dari prestasi karya orang lain.
Selanjutnya dijelaskan pula (http://kuliahkomunikasi.blogspot.co.id/2008/11/ teori-motivasi-mcclelland-teori-dua.html) bahwa teori ini memfokuskan pada tiga kebutuhan yaitu kebutuhan akan prestasi (achiefment), kebutuhan kekuasaan (power), dan kebutuhan afiliasi. Model motivasi ini ditemukan diberbagai lini organisasi, baik staf maupun manajer. Beberapa karyawan memiliki karakter yang merupakan perpaduan dari model motivasi tersebut.
A. Kebutuhan akan prestasi (n-ACH)
Kebutuhan akan prestasi merupakan dorongan untuk mengungguli, berprestasi sehubungan dengan seperangkat standar, bergulat untuk sukses. Kebutuhan ini pada hirarki Maslow terletak antara kebutuhan akan penghargaan dan kebutuhan akan aktualisasi diri. Ciri-ciri inidividu yang menunjukkan orientasi tinggi antara lain bersedia menerima resiko yang relatif tinggi, keinginan untuk mendapatkan umpan balik tentang hasil kerja mereka, keinginan mendapatkan tanggung jawab pemecahan masalah. n-ACH adalah motivasi untuk berprestasi , karena itu karyawan akan berusaha mencapai prestasi tertingginya, pencapaian tujuan tersebut bersifat realistis tetapi menantang, dan kemajuan dalam pekerjaan. Karyawan perlu mendapat umpan balik dari lingkungannya sebagai bentuk pengakuan terhadap prestasinya tersebut.
B. Kebutuhan akan kekuasaan (n-pow)
Kebutuhan akan kekuasaan adalah kebutuhan untuk membuat orang lain berperilaku dalam suatu cara dimana orang-orang itu tanpa dipaksa tidak akan berperilaku demikian atau suatu bentuk ekspresi dari individu untuk mengendalikan dan mempengaruhi orang lain. Kebutuhan ini pada teori Maslow terletak antara kebutuhan akan penghargaan dan kebutuhan aktualisasi diri. McClelland menyatakan bahwa kebutuhan akan kekuasaan sangat berhubungan dengan kebutuhan untuk mencapai suatu posisi kepemimpinan. n-pow adalah motivasi terhadap kekuasaan. Karyawan memiliki motivasi untuk berpengaruh terhadap lingkungannya, memiliki karakter kuat untuk memimpin dan memiliki ide-ide untuk menang. Ada juga motivasi untuk peningkatan status dan prestise pribadi.
C. Kebutuhan untuk berafiliasi atau bersahabat (n-affil)
Kebutuhan akan Afiliasi adalah hasrat untuk berhubungan antar pribadi yang ramah dan akrab. Individu merefleksikan keinginan untuk mempunyai hubungan yang erat, kooperatif dan penuh sikap persahabatan dengan pihak lain. Individu yang mempunyai kebutuhan afiliasi yang tinggi umumnya berhasil dalam pekerjaan yang memerlukan interaksi sosial yang tinggi. McClelland mengatakan bahwa kebanyakan orang memiliki kombinasi karakteristik tersebut, akibatnya akan mempengaruhi perilaku karyawan dalam bekerja atau mengelola organisasi.  Karakteristik dan sikap motivasi prestasi ala Mcclelland: a). Pencapaian adalah lebih penting daripada materi. b). Mencapai tujuan atau tugas memberikan kepuasan pribadi yang lebih besar daripada menerima pujian atau pengakuan. c). Umpan balik sangat penting, karena merupakan ukuran sukses  (umpan balik yang diandalkan, kuantitatif dan faktual).

F.    PERAN KEPALA SEKOLAH SEBAGAI MOTIVATOR GURU
Dari segi manajemen, kepala sekolah sebagai pimpinan memiliki fungsi sebagai manajer, yang menurut  Siagian seperti dikutip Adang (2014: 24) yaitu berfungsi  sebagai planning, orhanizing, motivating, controlling, dan budgeting.
    Jadi salah satu fungsi kepala sekolah selaku manajer, adalah mampu memberikan motivasi kepada seluruh komponen organisasi agar dapat bekerja secara maksimal untuk mencapai tujuan organisasi.
        Lebih lanjut Adang (2014: 27) menjelaskan bahwa pelaksanaan fungsi motivasi sangat penting dalam menjalankan roda organisasi. Motivasi merupakan dorongan untuk berbuat, untuk menjalankan program, dan untuk bangkit dari keterpurukan. Motivasi yang kuat dalam menjalankan suatu program merupakan modal dalam mencapai keberhasilan suatu program. Seorang manajer harus mampu memberikan motivasi kepada anggotanya agar memiliki semangat kerja dalam mencapai keberhasilan. Pemberian motivasi kepada anggota  tidak hanya dalam bentuk menyemangat spirit kerja dengan kata-kata, tetapi jauh lebih besar adalah  menyediakan atau menciptakan kebutuhan-kebutuhan atau alat-alat yang memuaskan anggota sehingga pelaksanaan kegiatan organisasi dapat dilakukan  secara maksimal. Dalam memotivasi anggota, seorang manajer dituntut untuk mengetahui kebutuhan anggota secara fundamental.
Berdasarkan Teori Motivasi Douglas McGregor menjelaskan bahwa pemimpin yang menyukai teori X cenderung menyukai gaya kepemimpinan otoriter dan sebaliknya, seorang pemimpin yang menyukai teori Y lebih menyukai gaya kepemimpinan demokratik. Untuk kriteria karyawan yang memiliki tipe teori X adalah karyawan dengan sifat yang tidak akan bekerja tanpa perintah, sebaliknya karyawan yang memiliki tipe teori Y akan bekerja dengan sendirinya tanpa perintah atau pengawasan dari atasannya. Tipe Y ini adalah tipe yang sudah menyadari tugas dan tanggung jawab pekerjaannya (https://id.wikipedia.org/wiki/Teori_X_ dan_teori_Y). Berdasarka teori  McGregor ini, seorang kepala sekolah terlebih dahulu harus mengidentifikasi mana kelompok tenaga kependidikan yang masuk dalam kelompok X dan mana tenaga kependidikan yang termasuk dalam kelompok Y. Kedua kelompok ini harus diperlakukan berbeda dalam memotivasi kinerjanya. Tenaga kependidikan kelompok X, harus lebih intensif didampingin, diarahkan, dan dievaluasi kinerjanya, sembari diberikan motivasi yang sesuai misalnya diberi hadiah atau diberi hukuman bagi yang kinerjanya dibawah standar. Sementara itu bagi tenaga kependidikan yang termasuk kelompok Y, tidak perlu di awasi secara intensif, mungkin yang perlu diperhatikan adalah kenyamanan tempat kerja, efektifitas peralatan kerja, serta secepat mungkin di tanggapi jika ada keluhan tentang hal-hal yang menghambat pekerjaannya. Selain itu kepala sekolah harus memperhatikan tugas tambahan yang akan diberikan kepada tenaga kependidikan kelompok X dan kelompok Y.
        Berdasarkan teori  motivasi  sebagaimana diuraikan di atas, Mulyasa, E. (2013: 149-150) terdapat beberapa prinsip yang dapat diterapkan untuk memotivasi tenaga kependidikan (guru) agar mau dan mampu meningkatkan kinerjanya, diantaranya:
  1. Tenaga kependidikan akan bekerja lebih giat  apabila kegiatannya yang dilakukannya menarik, dan menyenangkan.
  2. Tujuan kegiatan harus disusun dengan jelas dan diinformasikan kepada tenaga kependidikan sehingga mengetahui tujuan dia bekerja. Tenaga kependidikan juga dapat dilibatkan dalam penyusunan tujuan tersebut.
  3. Para tenaga kependidikan harus selalu diberitahu tentang hasil dari setiap pekerjaannya.
  4. Pemberian hadiah lebih baik daripada hukuman, namun sewaktu-waktu hukuman juga diperlukan.
  5. Manfaatkan sikap-sikap, cita-cita dan rasa ingin tahu tenaga kependidikan.
  6. Usahakan untuk memperhatikan perbedaan individual tenaga kependidikan, misalnya perbedaan kemampuan, latar belakang dan sikap mereka terhadap pekerjaannya.
  7. Usahakan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kependidikan dengan jalan memperhatikan kondisi fisiknya, memberikan rasa aman,  menunjukkan bahwa pemimpin memperhatikan mereka, mengatur pengalaman  sedemikian rupa sehingga setiap tenaga kependidikan pernah memperoleh kepuasan dan penghargaan.
Dari penjelasan diatas dapat simpulkan bahwa kepala sekolah dalam meningkatkan motivasi tenaga kependidikan (guru) di sekolah harus memahami hal-hal sebagai berikut: pastikan bahwa pekerjaan yang dilakukan menarik dan menyenangkan bagi guru, tujuan pekerjaan harus dijelaskan dan diinformasikan kepada guru, harus diberitahu hasil pekerja masing-masing guru, perlu diberi hadiah atau hukuman, manfaatkan sikap-sikap, cita-cita dan rasa ingin tahu guru, perhatikan perbedaan antar individu guru, dan pastikan semua tenaga kependidikan (guru) pernah memperoleh kepuasan dan penghargaan dalam pekerjaannya.

G.    KESIMPULAN
Dari pembahasan yang telah diuraikan di atas maka dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu:
  1. Dari beberapa pendapat yang dikemukakan di atas maka penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa, motivasi adalah suatu tekanan atau dorongan dari dalam diri (psikologis) seseorang, karena adanya rangsangan tertentu dalam rangka untuk melakukan sesuatu tindakan untuk memenuhi tujuan yang ingin dicapai. Atau dengan kata lain dapat pula dikatakan bahwa motivasi adalah hal dari dalam diri individu yang menjadi penyebab dari individu tersebut melakukan sesuatu.
  2. Ada dua jenis motivasi yaitu motivasi intrinsik, dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah motivasi yang datang dari dalam diri seseorang, misalnya tenaga pendidikan melakukan sesuatu kegiatan karena ingin menguasai suatu ketrampilan tertentu yang dipandang akan berguna dalam pekerjaannya. Motivasi ekstrinsik berasal dari lingkungan di luar diri seseorang, misalnya tenaga kependidikan bekerja karena ingin mendapat pujian atau ingin mendapat hadiah dari pemimpinnya.
  3. Menurut McGregor teori X menganggap sebagian besar manusia lebih suka diperintah serta tidak tertarik akan rasa tanggung jawab, dan masih bersifat anak-anak. Orang-orang yang tergolong dalam teori X, pada hakekatnya tidak menyukai bekerja, berkemampuan kecil untuk mengatasi masalah-masalah organisasi, hanya membutuhkan motivasi fisiologis saja, oleh karena itu perlu diawasi secara ketat. Diakui teori X ada kelemahannya, maka McGregor memberikan alternatif yaitu teori Y. Teori Y adalah sebaliknya, manusia itu suka bekerja, dapat mengontrol diri  sendiri, mempunyai kemampuan untuk berkreatifitas. Oleh karena itu orang semacam ini tidak perlu diawasi.
  4. Menurut Hezberg ada dua faktor penting yang mempengaruhi produktifitas kerja seseorang yakni, faktor hygiene (lingkungan) dan faktor motivator (pekerjaan itu sendiri). Faktor hygiene sebenarnya bersifat prefentif dan memperhitungkan lingkungan yang berhubungan dengan kerja. Faktor ini hampir sama dengan kebutuhan-kebutuhan terrendah dari hirarki Maslow. Faktor hygiene  bersifat preventif terhadap  ketidakpuasan dan rendahnya motivasi tenaga kependidikan dalam bekerja. Adapun faktor yang dapat memotivasi tenaga kependidikan adalah yang disebut dengan faktor motivator. Faktor motivator yang dikemukakan oleh Herzberg hampir sama dengan kebutuhan tertinggi dari hirarki kebutuhan Maslow.
  5. Menurut McClelland bahwa ada tiga motif utama manusia dalam bekerja, yaitu: (1) Kebutuhan untuk mencapai basil (need for achievemen/n-ach) merupakan dorongan untuk berhasil mencapai tujuan. (2) Kebutuhan akan kekuasaan  (need for power /n-pow) merupakan kebutuhan untuk membuat pihak lain berperilaku sesuai dengan kehendaknya. (3) Kebutuhan untuk aplikasi (needs of afiliation/naff) merupakan keinginan akan hubungan persahabatan dan antar pribadi.
  6. Kepala sekolah dalam meningkatkan motivasi tenaga kependidikan di sekolah harus menerapkan: pastikan bahwa pekerjaan yang dilakukan menarik dan menyenangkan, tujuan pekerjaan harus dijelaskan dan diinformasikan kepada yang bersangkutan, harus diberitahu hasil pekerja yang bersangkutan, perlu diberi hadiah atau hukuman, manfaatkan sikap-sikap, cita-cita dan rasa ingin tahu yang bersangkutan, perhatikan perbedaan antar individu, dan pastikan semua tenaga kependidikan pernah memperoleh kepuasan dan penghargaan dalam pekerjaannya.


DAFTAR PUSTAKA

  1. Adang. 2014. Manajemen dan Kepemimpinan Kepala Sekolah Konsep, Strategi, dan inovasi menuju sekolah efektif. Cetakan 1. Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA.
  2. Daryanto. 2011. Kepala Sekolah Sebagai Pemimpin Pembelajaran. Cetakan 1. Yogyakarta: PENERBIT GAVA MEDIA.
  3. Makawimbang, H.J. 2012. Kepemimpinan Pendidikan yang Bermutu. Cetakan 1. Bandung: ALFABETA,cv.
  4. Mulyasa. 2013. Menjadi Kepala Sekolah Profesional. Cetakan keduabelas. Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA.
  5. http://nathaliatholense.blogspot.co.id/ 2010/11/3-unsur-dalam-motivasi.html
  6. https://arifakbarmuhamad.wordpress.com/2011/08/01/unsur-unsur-dan-tipe-motivasi/
  7. http://prasetyaferilian.blogspot.co. id/2011/11/faktor-faktor-yang-mempengaruhi.html
  8. https://arifakbarmuhamad.wordpress.com/2011/08/01/unsur-unsur-dan-tipe-motivasi/
  9. https://id.wikipedia.org/wiki/ Teori_X_dan_teori_Y
  10. http://saptini.weblog.esaunggul.ac.id /2013/12/24/teori-2-faktor-herzberg/
  11. http://kuliahkomunikasi.blogspot.co.id/2008/11/teori-motivasi-mcclelland-teori-dua.html