Selasa, Juni 21, 2016

Penerapan TQM di Lembaga Bisnis dan Lembaga Sekolah


Setiap organisasi, apapun tujuannya tentu sangat menginginkan menjadi organisai yang bermutu. Demikian juga dengan lembaga pendidikan seperti “sekolah”, yang merupakan lembaga yang di serahi tanggung jawab yang sangat sentral oleh “negara” dalam rangka menciptakan manusia Indonesia yang berkualitas, baik kualitas jasmani maupun rohaninya. Oleh karena itu sebuah sekolah, selayaknya harus menampilkan diri menjadi lembaga yang bermutu, agar dapat dipercaya oleh masyarakat maupun pemerintah. Namun demikian fakta menunjukkan bahwa tidak semua lembaga pendidikan atau sekolah telah dapat mewujudkan dirinya menjadi sekolah yang bermutu atau berkualitas, hal ini dapat dilihat secara “kaca mata” awam bahwa masyarakat sudah dapat menilai dan menyimpulkan sendiri tentang lembaga pendidikan atau sekolah mana saja yang dianggap “bermutu” itu.
Pada awal tahun pelajaran kita dapat melihat dengan jelas bahwa terdapat lembaga pendidikan (SD/SMP/SMA/SMK sampai Perguruan Tinggi) yang sangat digandrungi oleh masyarakat sehingga orang tua siswa berbondong-bondong memasukkan anaknya pada lembaga pendidikan tersebut, sehingga jumlah siswa/mahasiswa baru yang terdaftar melampaui kuaota yang telah ditetapkan. Sementara itu beberapa sekolah (SD/SMP/SMA/SMK/ sampai Perguruan Tinggi) sangat sulit untuk mendapatkan siswa/mahasiswa baru. Dan jika diajukan pertanyaan kepada masyarakat, mengapa cenderung memilih sekolah tertentu atau Perguruan Tinggi tertentu sebagai tempat untuk sekolah atau untuk perkuliaha putra/putri mereka, maka akan diberi jawaban yang sangat beragam yang terkait dengan nilai-nilai kebaikan atau kelebihan dari lembaga-lembaga tersebut. Artinya dari masyarakat telah terbentuk persepsi bahwa, terdapat sekolah yang baik atau “bermutu” dan ada pula sekolah yang kurang baik atau “kurang bermutu”. Namu demikian ada suatu kesimpulan yang dapat ditarik, yaitu bahwa lembaga-lembaga pendidikan yang dipercaya oleh masyarakat sebagai tempat sekolah atau perkuliaan purta-putri mereka, adalah merupakan cermin dari  lembaga pendidikan yang “bermutu”.
Demikian juga halnya dengan berbagai perusahaan atau pabrik yang bergerak di bidang yang menghasilkan barang-barang atau jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Setiap perusahaan menginginkan agar barang-barang atau jasa yang dihasilkan dapat diterima oleh masyarakat dengan baik. Namun demikian ditengah persaingan yang sangat tinggi dengan barang-barang atau jasa dari perusahaan lain, maka sebuah perusahaan mau tidak mau harus bisa menghasilkan produk yang bernilai lebih dari perusahaan lain yang menghasilkan barang atau jasa yang sejenis. Kriteria “bernilai lebih” terhadap produk tersebut didasarkan pada kecenderungan masyarakat untuk menggunakan barang atau jasa tersebut.
Usaha yang dilakukan oleh perusahaan tersebut dalam rangka menghasilkan produk yang lebih disukai oleh masyarakat “pemakai” merupakan upaya untuk menghasilkan produk yang “bermutu” atau berkualitas. Karena hanya dengan menghasilkan produk yang “bermutu”, maka perusahaan tersebut akan bisa berkembang dan maju, sedangkan perusahaan yang tidak mampu menghasilkan produk yang tidak bermutu, hanya akan menunggu waktu kebangkrutannya saja. Namun demikian menciptakan produk yang “bermutu” bagi sebuah perusahaan bukanlah perkara yang mudah dan sekali jadi. Sebuah produk yang bermutu tentu berasal dari proses-proses yang bermutu dalam perusahaan tersebut. Artinya hanya “perusahaan yang bermutu” saja yang akan menghasilkan produk-produk yang bermutu.
Dalam rangka melakukan pengelolaan organisasi yang bermutu, baik itu berupa organisasi bisnis maupun organisasi pendidikan, akhir akhir ini muncul sebuah model pengelolaan organisasi yang disebut dengan istilah “Total Quality Management” yang disingkat TQM. Model pengelolaan ini pada awalnya berasal dari dunia industri, namun pada perkembangannya diadopsi ke dalam dunia pendidikan, termasuk pengelolaan pendidikan di Indonesia.
Penerapan TQM (total quality management) dapat meningkatkan kinerja perusahaan, dimana menurut Sila et al (2007) total quality management memainkan peranan yang sangat penting dalam meningkatkan kekuatan daya saing perusahaan. Kinaerja perusahaan yang baik akan mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan lain dalam meningkatkan kualitas produk. Selain itu TQM adalah salah satu bentuk praktek manajemen terbaik dalam perusahaan yang menekankan paradigma kualitas secara menyeluruh dalam perusahaan (Ari Zaqi Al Faritsy & Suseno, 2014).
Menurut hasil penelitian Ari Zaqi Al Faritsy & Suseno (2014), tentang “penerapan TQM dalam meningkatkan kinerja perusahaan UMKM” yang dimuat dalam “Jurnal Studi Manajemen, Vol. 8, No. 2, Oktober 2014” bahwa penerapan 10 unsur TQM terhadap perusahaan UMKM dapat mempengaruhi kinerja perusahaan secara signifika.
Selanjutnya Yundri Akhyar (2014) bahwa Total Quality Management (TQM) atau Manajemen Mutu Terpadu dalam bidang pendidikan tujuan akhirnya adalah meningkatkan kualitas, daya saing bagi output (lulusan) dengan indikator adanya kompetensi baik intelektual maupun skill serta kompetensi sosial siswa/lulusan yang tinggi. Dalam mencapai hasil tersebut, implementasi TQM di dalam organisasi pendidikan perlu dilakukan dengan sebenarnya tidak dengan setengah hati. Dengan memanfaatkan semua entitas kualitas yang ada dalam organisasi maka pendidikan kita tidak akan jalan di tempat seperti saat ini. Kualitas pendidikan kita berada pada urutan 101 dan masih berada di bawah vietnam yang notabene negara tersebut dapat dikatakan baru saja merdeka dibandingkan dengan kemerdekaan bangsa kita Indonesia.
Oleh karena itu dalam rangka implementasi TQM baik di organisasi bisnis maupun pada organisasi pendidikan, maka perlu untuk dipahami lebih mendalam tentang hakekat TQM, peranan TQM, serta cara mengaplikasikannya dalam organisasi, serta perbedaan antara penerapan TQM di organisasi bisnis dengan di organisasi sekolah.

A.    Pengertian Total Quality Management.
Total Quality Manajemen (TQM) atau dalam bahasa Indonesia sering dikenal dengan istilah Manajemen Mutu Terpadu (MMT), untuk memahaminya tidak terlepas dari memahami terlebih dahulu tentang dua hal yaitu “manajemen” dan “mutu”. Oleh karena itu untuk memahaminya secara mendasar perlu mengetahui pengertian “secara sederhana” dari “manejemen” dan “mutu”.,
Untuk lebih memahami TQM, akan disampaikan beberapa pengertiannya dari para ahli sebagai berikut:
  • Menurut Vincent Gaspersz (2002:5) pada dasarnya Manajemen Kualitas (Qualiti Management) atau Manajemen Kualitas Terpadu (Total Quality Management=TQM) didefinisikan sebagai suatu cara meni ngkatkan performansi secara terus menerus (continuous performance improvement) pada setiap level operasi atau proses, dalam setiap area fungsional dari suatu organisasi, dengan menggunakan semua sumber daya manusia dan modal yang tersedia.
  • Menurut Ishikawa (dalam Pawitra, 1993, p. 135; seperti dikutip oleh Fandi Tjiptono dan Anastasia Diana, 2003: 4) bahawa TQM diartikan sebagai perpaduan semua fungsi dari perusahaan ke dalam falsafah holistik yang dibangun berdasarkan konsep kualitas, teamwork, produktifitas, dan pengertian serta kepuasan pelanggan.
  • Menurut Santoso (1992, p.33; dalam Fandi Tjiptono dan Anastasia Diana, 2003: 4) bahwa TQM merupakan sistem manajemen yang mengangkat kualitas sebagai  strategi usaha dan berorientasi pada kepuasan pelanggan dengan melibatkan seluruh anggota organisasi.

B.    Penerapan Total Quality Management (TQM) dalam Institusi Bisnis.
Pendekatan tradisional menekankan tujuan perusahaan pada usaha memaksimalkan laba atau memaksimalkan kemakmuran para pemilik. Sedangkan TQM lebih fokus pada tujuan perusahaan untuk melayani kebutuhan pelanggan  dengan memasok barang dan jasa yang memiliki kualitas setinggi mungkin (Fandi Tjiptono dan Anastasia Diana, 2003: 328).
Agar uraian tentang implementasi TQM dalam institusi bisnis ini lebih fokus, maka dalam menjelaskannya akan menggunakan sepuluh unsur utama dari TQM menurut Goetsch dan Davis (1994) seperti dikutip Husaini Usman (2009: 574-575).

1.     Perusahaan Harus Fokus pada Pelanggan.
Dalam perusahan bisnis yang dimaksud dengan “fokus pada pelanggan” itu adalah bahwa apapun yang menjadi produk dari perusahaan harus mampu memenuhi keinginan atau bahkan melampaui keinginan dari pelanggan. Jika demikian, maka  perusahaan tersebut dikatakan dapat memenuhi kepuasan pelanggan.
Selanjutnya perlu dipahami dengan tepat jenis-jenis pelanggan perusahaan dalam rangka, menjadikan perusahaan sebagai perusahaan yang berkualitas. Menurut konsep TQM bahwa pelanggan adalah setiap “orang” yang menggunakan produk yang dihasilkan oleh perusahaan. Oleh karena itu dalam suatu perusahaan, yang disebut pelanggan ada dua jenis yaitu pelanggan internal dan pelanggan eksternal.
Pelanggan ekternal adalah orang yang menggunakan atau memanfaatkan produk yang dihasilkan oleh perusahaan. Contohnya: pelanggan eksternal perusahaan “roti” adalah orang yang membeli roti; baik untuk konsumsi sendiri maupun untuk dijual lagi ke konsumen. Sedangkan pelanggan internal adalah komponen orang yang ada dalam perusahaan yang dalam melaksanakan fungsinya memerlukan layanan orang lain yang ada dalam perusahaan itu. Contohnya: dalam perusahaan “roti” karyawan yang bekerja pada unit “pemrosesan adonan” memerlukan jasa dari karyawan yang khusus menyediakan dan menyeleksi bahan-bahan untuk pembuatan adonan. Dengan demikian karyawan pada unit “pemroses adonan” merupakan pelanggan dari karyawan menyedia dan penyeleksi bahan baku pembuat adonan.
Untuk mengetahui kepuasan pelanggan (khususnya pelanggan eksternal) terhadap produk perusahaan, maka perlu dilakukan apa yang  dikemukankan oleh W. Edward Deming  yang dikenal dengan “Deming Cycle” atau siklus Deming. Untuk  mengetahui kepuasan pelanggan atau dengan kata lain untuk mencapai produk yang “bermutu”  menurut Deming adalah dengan melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
  1. Plan; yaitu mengadakan riset konsumen dan menggunakannya dalam perencanaan produk. Artinya jika ingin mengetahiu mutu suatu produk, maka sumber informasinya adalah pelangga. Oleh karena itu langkah awal untuk “tau” tentang mutu sebuah produk yang akan dihasilkan oleh perusahaan, harus melalui riset tentang persepsi atau pendapat pelanggan tentang mutu produk tersebut. Contoh:  jika perusahaan “roti” ingin membuat produk roti yang berkualitas, maka harus melakukan penelitian (yang valid) tentang  pendapat dari masyarakat calon pembeli (pelanggan) tentang kriteria “roti” yang diinginkannya. Selanjutnya data hasil penelitian ini, menjadi informasi yang berharga bagi pimpinan perusahaan untuk memutuskan kebijakan dalam rangka pengembangan produk “roti” tersebut.
  2. Do; menghasilkan produk. Artinya: hasil penelitian tentang pendapat pelanggan mengenai “mutu” produk, dijadikan sebagai pedoman untuk mendisain produk yang akan dihasilkan perusahaan. Sehingga pada langkah ini, perusahaan menghasilkan produk baru yang didasarkan pada imformasi risest konsumen/pelangga, dan bisa jadi produk yang dihasilkan merupakan pengembangan dari produk sebelumnya atau juga produk yang modelnya berbeda dari yang sebelumnya.
  3. Check; memerikasa produk apakah telah dihasilkan sesuai dengan rencana. Artinya sebelum dipasarkan produk yang dihasilkan pada langkah b di atas, harus betul-betul diteliti dan diperiksa tentang kesesuaiannya dengan disain yang direncanakan.
  4. Act; memasarkan produk tersebut.
  5. Analyze; menganalisis bagaimana produk tersebut diterima di pasar dalam hal kualitas, biaya, dan kriteria lainnya.  Artinya harus diketahui secara komprehensif tentang data hasil pemasaran dari produk tersebut, sehingga dijadikan sebagai dasar pengembilan keputusan untuk melaksanakan siklus produksi perusahaan selanjutnya.
Selain itu untuk pemantauan dan pengukuran terhadap kepuasan pelanggan, pada prinsipnya dapat dilakukan dengan berbagai macam metode dan teknik. Seperti yang dikemukakan Kotler (1994, pp. 41-43) seperti dikuti oleh Tjiptono dan Diana (2003: 104-105) yaitu: (1) sistim keluhan dan saran, (2) ghost shooping; mempekerjakan beberapa orang untuk berperan atau bersikap sebagai pembeli potensial, yang kemudian melaporkan kepada perusahaan tentang pengalamannya, (3) lost customer analysis; menghubungi kembali para pelanggan yang telah berhenti atau yang telah pindah pemasok, dan (4) survei kepuasan pelanggan. 
Selanjutnya untuk mengidentifikasi kebutuhan pelanggan internal salah satu kuncinya adalah komunikasi secara terus menerus antar karyawan yang saling terkait dan tergantung satu sama lain sebagai individu, dan antar unit kerja (departemen)  yang saling tergantung sebagai suatu unit. Dalam komunikasi tersebut setiap pihak menyampaikan kebutuhannya kepada pihak lain, sehingga saling terjadi saling pengertian dan kerja sama antar individu maupun antar departemen dalam organisasi perusahaan itu.

2.    Perusahaan Harus Memiliki Obsesi Terhadap Kualitas.
Persusahaan yang menerapkan TQM, penetu akhir kualitas adalah pelanggan internal dan eksternal. Dengan kualitas yang ditetapkan tersebut, organisasi harus terobsesi untuk memenuhi atau melebihi apa yang ditentukan tersebut. Hal ini berarti bahwa semua karyawan pada setiap level berusaha melaksanakan setiap aspek pekerjaannya berdasarkan perspektif “bagaimana kita dapat melakukannya dengan lebih baik?”  Bila suatu organisasi terobsesi dengan kualitas, maka berlaku prinsip ‘good enough is never good enough’.
Manajemen puncak harus memapu mempengaruhi dan memotivasi seluruh personil pengelola perusahaan agar dalam bekerja harus berusaha untuk terus meningkatkan mutu pekerjaannya masing-masing. Kualitas  perusahan secara keseluruhan dapat dicapai jika kualitas dari unit-unit kerja dalam perusahaan juga dapat dapat tercapai.  Seorang ahli TQM, Joseph Juran pernah berilustrasi tentang mengaplikasikan mutu dalam sistim perusahaan melalui istilah proyek besar dan kecil; beliau berpendapat bahwa metode yang paling baik untuk mengerjakan proyek besar adalah dengan memisahkan ke dalam pekerjaan-pekerjaan kecil yang terkendali. Dia merekomendasikan sebuah tim kerja untuk memilah-milah proyek besar tersebut menjadi kerja-kerja kecil. Inilah yang disebut dengan konsep “kaizen”, dalam rangka merealisasikan obsesi mutu dalam perusahaan.
Tiada hari tanpa melakukan perbaikan terhadap kualitas produk perusahaan. Obsesi terhadap kualitas ini, harus dapat diaplikasikan dalam perusahan dengan mengikutsertakan seluruh komponen organisasi untuk memutuskannya dan melaksanakannya. Sehingga obsesi mutu dalam suatu perusahaan adalah milik “semua orang” dalam perusahaan itu, akibatnya gerakan mutu dalam organisasi merupakan gerakan yang lahir tanpa ada paksaan dan tekanan dari pihak lain.
 
3.    Perusahaan Harus Menggunakan Pendekatan Ilmiah dalam Mengambil Keputusan.
Salah satu kunci agar perusahaan yang menerapkan TQM dapat berhasil adalah dengan menggunakan pendekatan ilmiah dalam pengambilan keputusan dan pemecahan masalah perusahaan. Pengambilan keputusan ilmiah harus dipusatkan pada upaya mengatasi berbagai masalah utama yang dihadapi perusahaan, sesuai dengan prinsip Pareto, yaitu berusaha mengatasi sumber masalah pokok dan bukan gejalanya. Meneurut Juran (dalam Edaward Sallis, 2015: 94) bahwa 85% masalah mutu dalam sebuah manajemen organisasi adalah dari hasil disain proses yang kurang baik dan hanya 15% diakibatkan masalah sumber daya manusia. Oleh karena itu 85% masalah merupakan merupakan tanggung jawab manajemen.
Dalam rangka melakukan perbaikan terus menerus terhadap pelayanan perusahaan dan perbaikan mutu produk, baik dalam rangka memenuhi kepuasan pelanggan eksternal maupun pelanggan internal perusahaan harus menggunakan data dan fakta yang ilmiah dalam mengambil kebijakan. Perusahaan tidak diperkenankan mengambil keputusan berdasrkan persepsi dan sudut pandang subyektif, akan tetapi darus didasarkan pada berbagai data, alat dan teknik statistika. Menurut Tjiptona dan Diana (2003: 200) hal itu mengandung pengertian bahwa:
•    Pengambilan keputusan lebih didasarkan pada data daripada dugaan.
•    Mencari sumber penyebab suatu masalah , bukan bereaksi pada gejala.
•    Mencari solusi permanen, bukan mendasarkan pada perbaikan dalam waktu singkat.
Hal ini sangat diperlukan terutama untuk mendisain pekerjaan, dalam proses pengambilan keputusan dan pemecahan masalah yang berkaitan dengan pekerjaan yang didesain tersebut. Dengan demikian, data lapangan sangat diperlukan dalam menyusun patok duga, memantau prestasi, dan melaksanakan perbaikan. Sebagai contoh; jika perusahaan ingin mengganti sebuah mesin oven untuk pemanggangan “roti”, maka data hasil kinerja mesin tersebut harus ada dan betul-betul merupakan data yang ilmiah (berdasarkan fakta). Dan data inilah yang menjadi dasar pengambilan keputusan apakah mesin itu perlu diganti atau tidak. Demikian juga untuk hal-hal yang lain dalam perusahaan.
Paling tidak terdapat tiga aspek penting dalam proses pengambilan keputusan dalam suatu perusahaan. ketiga aspek tersebut adalah keterlibatan karyawan, tersedianya informasi dan kreatifitas personil. 
   
4.    Komitmen Jangka Panjang.
Sebuah perubahan dari “tidak bermutu” menjadi “bermutu” dalam tradisi sebuah organisasi perusahaan bukanlah proses yang sekali jadi atau berjalan dengan singkat. Akan tetapi merupakan proses perubahan dalam jangka waktu yang relatif lama. Oleh karena itu manajemen perusahaan dalam merencanakan perubahan mutu kearah yang lebih baik, harus memiliki komitmen jangka panjang. Hampir tidak ada perubahan “budaya mutu” yang bisa dilakukan secara cepat.
Menurut konsep “kaizen” bahwa perubahan ke arah mutu harus sedikit demi sedikit (step by step improvement). Filosofi TQM memang berskala besar, inspirasional dan menyeluruh, tetapi implementasi praktisnya justru berskala kecil, sangat praktis, dan berkembang. Intervensi drastis tidak sesuai dengan semangat perubahan yang ada dalam TQM. Skema yang muluk-muluk tidak akan menimbulkan kemajuan karena hal demikian sering terjebak pada kurangnya sumber daya. Buntunya sumber daya bisa mengakibatkan sinisme dan ketidakpuasan (Edward Sallis, 2015: 65).
Dengan demikian adanya komitmen jangka panjang perusahaan akan bisa menjamin penerapan konsep manajemen mutu terpadau atau total quality manajemen dapat berjalan dengan baik.
Oleh karena itu perusahaan yang ingin menerapkan TQM, harus memulai perubahan mutunya dengan mengidentifikasi unit-unit kerja yang berskala kecil untuk dijadikan sebagai langkah awal dalam memulai perubahan mutu. Dan perubahan-perubahan yang akan dilakukan harus tahap demi tahap atau selangkah demi selangkah, disesuaikan dengan kondisi serta kemampuan organisasi tersebut.

5.    Kerja Sama Tim (Teamwork).
Dalam sebuah perusahaan, keja tim merupakan komponen penting dari implementasi TQM, mengingat kerja tim akan meningkatkan kepercayaan diri, komunikasi, dan mengembangkan kemandirian.
Sebagaimana yang kita ketahui, sebuah sinergi tim kerja yang harmonis dibutuhkan dalam upaya meningkatkan mutu. Peningkatan mutu adalah sebuah kerja keras, dan mendapatkan dukungan semua pihak adalah pendekatan terbaik dalam menangani hal ini. Kerja sama tim merupakan salah satu unsur fundamental dalam TQM. Tim merupakan sekelompok orang yang memiliki tujuan bersama.
Oleh karena itu sebuah organisasi yang ingin menerapkan TQM harus mengandalkan kerja tim pada setiap level unit kerja, karena diyakini bahwa hasil kerja  tim jauh lebih mantap dan berharga bagi peningkatan mutu perusahaan dibanding dengan hasil kerja perorangan. Adapun faktor-faktor yang mendasari perlunya dibentuk tim-tim tertentu dalam suatu perusahaan adalah:
•    Pemikiran dari 2 orang atau lebih cenderung lebih baik daripada pemikiran satu orang saja.
•    Konsep sinergi [1+1>2], yaitu bahwa hasil keseluruhan (tim) jauh lebih baik dari pada jumlah timnya (anggota individual).
•    Anggota tim dapat saling mengenal dan saling percaya, sehingga mereka dapat saling membantu.
•    Kerja sama tim dapat menyebabkan komunikasi terbina dengan baik
Dengan demikian suatu perusahaan yang menerapkan TQM harus menghindarkan diri dari pola kerja yang mengandalkan kualitas dan keunggulan “perseorangan”. Oleh karena itu manajemen puncak harus mendisain sistim kerja organisasi perusahaan, dengan menghilangkan batas-batas yang menghambat relasi antar personil dalam organisasi.
Contohnya; dalam perusahaan “roti”, akan lebih baik jika terjadi komunikasi secara langsung dan intens antara personil yang bertanggung jawab terhadap “penyiapan bahan baku” dengan personil yang bertanggung jawab terhadap “pembuat adonan roti”, dan manajemen organisasi harus menciptakan sistem kerja yang mendukung pola itu. Sehingga keberhasilan pembuatan “adonan roti” yang bermutu merupakan hasil “kerja tim”, yaitu hasil kerja sama antara bagian “penyiapan bahan baku” dengan hasil kerja bagian “pembuat adonan roti”. Demikian juga dengan komponen-komponen kerja yang lainnya dalam perusahaan.
Dalam organisasi yang menerapkan TQM atau MMT, kerja sama tim, kemitraan dan hubungan dijalin dan dibina baik antar karyawan perusahaan maupun dengan pemasok, lembaga-,embaga pemerinyah, dan masyarakat sekitarnya.

6.    Perusahaan Harus Melakukan Perbaikan Sistim Secara Berkesinambungan.
Dalam perusahaan hampir tidak ada proses kerja yang berdiri sendiri, tanpa melibatkan komponen yang lain dalam perusahaan. Artinya bahwa setiap proses kerja yang dijalankan merupakan hasil dari kinerja dari sistem dalam perusahaan. Oleh karena itu filosofi “perbaikan secara terus menerus” dalam implementasi TQM, bagi organisasi perusahaan mengandung pengertian bahwa perusahaan harus berusaha untuk melakukan perbaikan secara terus menerus terhadap sistem kerja yang ada di dalamnya. Tidak ada kata berhenti dalam perbaikan sistem kerja organisasi, dan ini melibatkan seluruh unit kerja yang ada.
Perbaikan secara terus menerus terhadap sistem kinerja perusahaan, bukanlah hal yang berdiri sendiri, akan tetapi memiliki tujuan akhir untuk menghasilkan perbaikan secara berkesinambungan terhadap produk akhir dari perusahaan. Artinya proses perbaikan sistem kerja perusahaan yang berkesinambungan dan terus menerus merupakan implikasi logis dari konsep perbaikan mutu produk yang secara terus menerus dilakukan  dalam rangka memenuhi tuntutan dan kebutuhan pelanggan.
Dalam perbaikan berkesinambungan diasumsikan bahwa sesuatu rusak apabila menyimpang dari target yang diinginkan oleh pelanggan.  Sudah barang tentu perbaikan berkesinambungan menjadi lebih sulit karena semakin banyak perbaikan yang dilakukan. Peningkatan kinerja juga berasal dari perbaikan sistem/proses, tidak hanya merupakan peningkatan kemampuan sumber daya. Untuk meningkatkan sistem/proses, manajer harus mencari sumber penyebab masalah, karena sering kali manajer melakukan kekeliruan, yaitu lebih banyak menekankan aspek pemecahan masalah dari pada mencari sumber penyebab masalah tersebut. Ada lima aktifitas pokok dalam perbaikan berkesinambungan, yaitu (1) komunikasi, (2) memperbaiki masalah yang nyata/jelas, (3) memandang ke hulu, artinya mencari penyebab suatu masalah bukan gejalanya (mendokumentasi masalah dan kemajuan, dan (5) memantau perubahan.
Untuk melakukan perbaikan yang secara terus mnerus, maka perlu dilakukan apa yang  dikemukankan oleh W. Edward Deming  yang dikenal dengan “Deming Cycle” atau siklus Deming. dengan melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
  1. Plan; yaitu mengadakan riset konsumen dan menggunakannya dalam perencanaan produk. Artinya jika ingin mengetahiu mutu suatu produk, maka sumber informasinya adalah pelangga. Oleh karena itu langkah awal untuk “tau” tentang mutu sebuah produk yang akan dihasilkan oleh perusahaan, harus melalui riset tentang persepsi atau pendapat pelanggan tentang mutu produk tersebut. Contoh:  jika perusahaan “roti” ingin membuat produk roti yang berkualitas, maka harus melakukan penelitian (yang valid) tentang  pendapat dari masyarakat calon pembeli (pelanggan) tentang kriteria “roti” yang diinginkannya. Selanjutnya data hasil penelitian ini, menjadi informasi yang berharga bagi pimpinan perusahaan untuk memutuskan kebijakan dalam rangka pengembangan produk “roti” tersebut.
  2. Do; menghasilkan produk. Artinya: hasil penelitian tentang pendapat pelanggan mengenai “mutu” produk, dijadikan sebagai pedoman untuk mendisain produk yang akan dihasilkan perusahaan. Sehingga pada langkah ini, perusahaan menghasilkan produk baru yang didasarkan pada imformasi risest konsumen/pelangga, dan bisa jadi produk yang dihasilkan merupakan pengembangan dari produk sebelumnya atau juga produk yang modelnya berbeda dari yang sebelumnya.
  3. Check; memerikasa produk apakah telah dihasilkan sesuai dengan rencana. Artinya sebelum dipasarkan produk yang dihasilkan pada langkah b di atas, harus betul-betul diteliti dan diperiksa tentang kesesuaiannya dengan disain yang direncanakan.
  4. Act; memasarkan produk tersebut.
  5. Analyze; menganalisis bagaimana produk tersebut diterima di pasar dalam hal kualitas, biaya, dan kriteria lainnya.  Artinya harus diketahui secara komprehensif tentang data hasil pemasaran dari produk tersebut, sehingga dijadikan sebagai dasar pengembilan keputusan untuk melaksanakan siklus produksi perusahaan selanjutnya.
Dengan adanya siklus perbaikan yang terus menerus ini maka akan terwujud apa yang disebut oleh Philip Crosby sebagai manajemen perusahan yang bisa mewujudkan produk perusahaan yang tanpa cacat atau zero defect.
Dengan demikian bahwa perbaikan produk perusahaan harus mengikuti tuntutan dan kebutuhan pelanggan yang terus berubah. Akibatnya manajemen perusahaan mau tidak mau harus melakukan inovasi perubahan sistem kerja yang terus berkesinambungan mengikuti tuntutan perubahan dan inovasi produk. Jika perubahan inovasi produk menyangkut banyak faktor sesuai tuntutan pelanggan, maka perbaikan sistem dalam perusahaanpun juga harus menyangkut banyak faktor.
Contohnya; sebuah  perusahaan “roti” berdasarkan hasil analisis kebutuhan pelanggan oleh tim, merekomendasikan kepada perusahaan  bahwa pada periode produksi selanjutnya agar mengganti bahan kemasan dari bahan plastik menjadi bahan kertas serta harus menambah 50% produksinya. Dengan demikian maka perusahaan harus segera mencari bahan baku kertas (mengganti pemasuk bahan kemasan dari plastik menjadi pemasuk bahan kemasan dari kertas) dan juga menambah kemampuan produksi 50% dari biasanya. Implikasinya perusahaan harus melakukan perubahan-perubahan sistem kerja untuk memenuhi tuntutan ini, dan perubahan ini juga harus menjadi landasan untuk membuat perencanaan perbaikan sistem dalam jangka waktu yang akan datang.

7.    Pendidikan dan Pelatihan.
Dalam perusahaan proses perbaikan secara terus menerus terhadap sistem kerja maupun mutu produk, tidak mungkin bisa terwujud tanpa adanya perbaikan secara kontinyu terhadap kemampuan sumber daya manusia (SDM) yang ada. Oleh karena itu program pendidikan dan pelatihan personil atau pekerja merupakan hal yang sangat urgen dalam perusahaan yang menerapkan total quality management (TQM).
Pendidikan berbeda dengan pelatihan. Pelatihan bersifat spesifik,  praktis  dan segera. Yang dimaksud dengan spesifik dalam arti pelatihan berhubungan secara spesifik dengan pekerjaan yang dilakukan. Sedangkan yang dimaksud dengan praktis dan segera adalah bahwa apa yang dilatihkan dapat diaplikasikan dengan segera sehingga materi yang diberikan harus bersifat praktis. Sedangkan pendidikan lebih bersifat filosofi dan teoritis, dan kesamaannya dengan pelatihan adalah  tujuannya untuk pembelajaran. Di dalam pembelajaran terdapat pemahaman secara implisit. Melalui pemahaman, karyawan dimungkinkan untuk menjadi seorang inovator, pengambil inisiatif, pemecah masalah yang kreatif, serta menjadikan karyawan efektif dan efisien dalam melakukan pekerjaan.
Ada lima faktor yang menyebabkan diperlukannya pelatihan dalam suatu perusahaan, yaitu:
(1) Kualitas  angkatan kerja yang ada, (2) Persaingan global, (3) perubahan yang cepat dan terus menerus, (4) masalah-masalah alih teknologi, dan (5) perubahan keadaan demografi.
Sasaran pendidikan dan latihan dalam rangka peningkatan kualitas SDM pada perusahaan, harus mencakup seluruh komponen organisasi, mulai dari personil manajemen puncak sampai dengan personil manajemen rendah. Artinya perbaikan mutu SDM harus mencakup seluruh personil yang terlibat dalam organisasi, karena untuk mewujudkan budaya mutu perusahaan harus merupakan hasil budaya mutu dari seluruh komponen dalam perusahaan.
Contohnya; pada perusahaan “roti”, perbaikan mutu SDM mencakup: personil manajemen puncak dan menengah, personil penjamin mutu, personil penyiapan bahan baku, personil pembuat dan pencetak adonan, personil penanggung jawab/teknisi peralatan pabrik, personil pemasak/pembakar, personil pengemas roti, dan personil pemasaran.
Selanjutnya pendidikan dan pelatihan yang akan dilaksanakan oleh perusahaan harus memperhatikan kebutuhan riil dari personil. Artinya jangan sampai personil yang dilatih salah sasaran, sehingga tidak membawa dampak terhadap perubahan kualitas pekerjaannya. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam pendidikan dan pelatihan adalah tingkat kemampuan personil yang dilatih. Hal ini perlu diperhatikan agar materi pelatihan dapat diserap oleh peserta pelatihan sesuai dengan standar kemampuannya masing-masing (agar lebih efektif).
Bagi perusahaan, pelatihan karyawan memberikan banyak manfaat, antara lain sebagai berikut:
•    Mengurangi kesalahan produksi
•    Meningkatkan produktifitas
•    Meningkatkan/memperbaiki kualitas
•    Mengurangi tingkat turnover
•    Biaya staf yang lebih rendah
•    Mengurangi kecelakaan
•    Meminimisasi biaya asuransi
•    Meningkatkkan fleksibilitas karyawan
•    Respon yang lebih baik terhadap perubahan
•    Meningkatkan komunikasi
•    Kerja sama tim yang lebih baik
•    Hubunngan karyawan yang lebih harmonis
•    Mengubah budaya perusahaan
•    Menunjukkan komitmen manajemen terhadap kualitas.
Dalam organisasi yang menerapkan TQM,  pendidikan dan pelatihan merupakan faktor yang fundamental. Setiap orang diharapkan dan didorong untuk terus belajar. Dalam hal ini berlaku prinsip bahwa belajar merupakan proses  yang tidak ada akhirnya dan tidak mengenal batas usia. Dengan belajar setiap orang dalam perusahaan dapat meningkat ketrampilan teknis dan keahlian profesionalnya.

8.    Perusahaan  Mengembangkan ”Kebebasan” yang Terkendali.
Dalam perusahaan yang menerapkan TQM keterlibaran dan pemberdayaan karyawan dalam pengambilan keputusan dan pemecahan masalah merupakan unsur yang sangat penting. Hal ini dikarenakan unsur tersebut dapat meningkatkan “rasa memiliki” dan tanggung jawab karyawan terhadap keputusan yang telah dibuat. Selain itu unsur ini juga dapat memperkaya wawasan dan pandangan dalam suatu keputusan yang diambil, karena pihak yang terlibat lebih banyak.
Meskipun demikian, kebebasan yang timbul karena keterlibatan dan pemberdayaan tersebut merupakan hasil dari pengendalian yang terencana dan terlaksana dengan baik. Pengendalian itu sendiri dilakukan terhadap metode-metode pelaksanaan setiap proses tertentu. Dalam hal ini karyawan yang melakukan standarisasi proses dan mereka pula yang berusaha mencari cara untuk meyakinkan setiap orang agar bersedia mengikuti prosedur standar tersebut.
Dengan demikian maka semua karyawan menjadi lebih memahami tentang  jalannya roda peusahaan. Manajemen puncak dan menengah dalam perusahaan hanya bertindak sebagai pemberi dukungan dan wewenang kepada para karyawan, bukan mengontrol mereka. Sehingga manajemen perusahan akan menjelma menjadi sebuah “energi” bersama yang menjamin terciptanya proses mutu pada setiap lini organisasi, karena adanya kebebasan yang telah diberikan kepada setiap karyawan dalam mengimplementasikan keputusan dan kebijakan organisasi yang telah disepakati bersama.

9.    Seluruh Komponen Perusahaan Harus Memiliki Kesatuan Tujuan.
Supaya TQM dapat diterapkan dengan baik maka perusahaan harus memiliki kesatuan tujuan. Dengan demikian setiap usaha dapat diarahkan pada tujuan yang sama. Akan tetapi kesatuan tujuan ini tidak berarti bahwa harus selalu ada persetujuan/kesepakatan antara pihak manajemen dan karyawan mengenai upah dan kondisi kerja.

10.    Perusahaan Harus Menjamin Adanya Keterlibatan dan Pemberdayaan Karyawan.
Salah satu konsep TQM yang harus diterapkan oleh perusahaan adalah konsep pelibatan dan pemberdayaan karyawan. Karena keterlibatan dan pemberdayaan karyawan merupakan hal yang penting. Walaupun kedua konsep ini saling terkait, namun merupakan dua hal yang berbeda.
Pelibatan karyawan adalah suatu proses untuk mengikutsertakan para karyawan pada semua level organisasi dalam pemnbuatan keputusan dan pemecahan masalah. Orang yang lebih dekat dengan dengan masalah yang terjadi adalah orang yang tepat dan terbaik untuk membuat keputusan. Pemberdayaan dapat diartikan sebagai pelibatan karyawan yang benar-benar berarti (signifikan). Dengan demikian pemberdayaan tidak sekedar hanya memiliki masukan, tetapi juga memperhatikan, mempertimbangkan, dan menindaklanjuti masukan tersebut apakah akan diterima atau tidak.
Oleh karena itu pihak perusahaan selain pelibatan karyawan dalam membuat keputusan dan pemecahan masalah juga harus dibarengi dengan pemberdayaan karyawan. Usaha pemberdayaan karyawan dimulai dengan:
•    Keinginan manajer dan penyelia untuk memberi tanggung jawab kepada karyawan.
•    Melatih pengelia dan karyawan mengenai bagaimana cara untuk melakukan delegasi dan menerima tanggung jawab. Komunikasi dan umpan balik perlu diberikan oleh manajer dan penyelia kepada karyawan.
•    Penghargaan dan pengakuan sebagai hasil dari evaluasi perlu diberikan kepada karyawan sebagai tanda penghargaan terhadap kontribusi mereka kepada perusahaan.
Usaha untuk melibatkan karyawan membawa dua manfaat utama. Pertama, hal ini akan meningkatkan kemungkinan dihasilkannya keputusan yang baik, rencana yang lebih baik, atau perbaikan yang lebih efektif karena juga mencakup pandangan dan pemikiran dari pihak-pihak yang langsung berhubungan dengan situasi kerja. Kedua, keterlibatan karyawan juga meningkatkan “rasa memiliki” dan tanggung jawab atas keputusan dengan melibatkan orang-orang yang harus melaksanakannya.
Selanjutnya, implentasi TQM bukanlah suatu pendekatan yang sifatnya langsung jadi atau hasilnya diperoleh dalam jangka waktu sekejap, tetapi membutuhkan suatu proses yang sistematis. Adapun fase-fase atau tahap-tahap implementasi TQM, menurut Goetsch dan Davis (1994, pp. 584-589) seperti dikutip Fandi Tjiptono dan Anastasia Diana (2003: 343-349) dikelompokkan menjadi tiga fase, yang poin-pinnya dapat di sebutkan sebagai berikut:
1.    Fase Perispan.
Fase ini terdiri atas 10 langkah, yang diberi label A sampai J, meliputi
Langkah A: membentuk total-quality steering committee.
Langkah B: membentuk tim.
Langkah C: pelatihan TQM
Langkah D: menyusun pernyataan visi dan prinsip sebagai pedoman
Langkah E: menyusun tujuan umum
Langkah F: komunikasi dan publikasi.
Langkah G: identifikasi kekuatan dan kelemahan
Langkah H: identifikasi pendukung dan penolak.
Langkah I: memperkirakan sikap karyawan
Langkah J: mengukur kepuasan pelanggan
2.    Fase Perencanaan.
Langkah K: merencanakan pendekatan implementasi, kemudian menggunakan siklus PDCA
Langkah L: identifikasi proyek
Langkah M: membentuk komposisi tim.
Langkah N: pelatihan tim.
3.    Fase Pelaksanaan.
Langkah P: penggiatan tim
Langkah Q: umpan balik kepada steering commite
Langkah R: umpan balik dari pelanggan
Langkah S: umpan balik dari karyawan
Langkah T: memodifikasi infrastruktur.

C.    Penerapan Total Quality Managenent (TQM) pada Institusi Pendidikan (Sekolah).
Untuk menjelaskan tentang penerapan TQM dalam institusi pendidikan atau sekolah, juga akan berpatokan pada sepuluh unsur utama TQM menurut menurut Goetsch dan Davis (1994) seperti dikutip Husaini Usman (2009: 574-575). Bahwa sebuah organisasai, termasuk sekolah yang akan menerapkan TQM harus:
1.     Sekolah  Harus Fokus pada Pelanggan.
Sebelum membahas tentang sekolah yang harus fokus pada pelanggan maka perlu dipahami beberapa hal khusus yang terkait dengan lembaga sekolah.
•    Pelanggan Sekolah
Menurut Edward Sallis (2015: 57) bahwa pelanggan institusi pendidikan sebagai institusi jasa, dibedakan: (1) pelanggan utama: peserta didik, (2) pelanggan kedua: orang tua, pemerintah/sponsor, (3) pelanggan ketiga: pihak yang memiliki peran penting, meskipun tidak langsung, misalnya pemerintah dan masyarakat. Disamping itu pelanggan dibedakan antara pelanggan internal (pimpinan sekolah, guru, staf) dan pelanggan eksternal (peserta didik, orang tua).
•    Produk Sekolah Sebagai Lembaga Pendidikan
Ada beberapa perbedaan pendapat tentang produk dari pendidikan, pelajar atau peserta didik sering kali dianggap sebagai produk dari pendidikan, padahal  menurut Lynton Gray bahwa manusia berada dalam proses pendidikan dengan pengalaman, emosi, dan opini yang tidak bisa disamaratakan. Menilai mutu pendidikan sangat berbeda dengan memeriksa hasil produksi pabrik atau menilai sebuah jasa. Ide tentang pelajar sebagai produk menghilangkan kompleksitas proses belajar dan keunikan setiap individu pelajar. Berdasarkan atas analisis mutu dari jasa (servis quality), bahwa akan lebih tepat bahwa pendidikan adalah sebuah industri jasa daripada sebagai proses produksi. Jadi dengan demikian produk produk dari institusi pendidikan adalah pelayanan jasa pendidikan (Edward Sallis, 2015: 52)
•    Pengertian Jasa Pendidikan dan Karakteristiknya
Menurut Eti Rochaety dkk (2010: 102) memberi definisi bahwa jasa pendidikan adalah merupakan jasa yang bersifat kompleks karena bersifat padat karya dan padat modal. Artinya, membutuhkan banyak tenaga kerja yang memiliki skill khusus dalam bidang pendidikan dan padat modal karena mebutuhkan infrastruktur (peralatan) yang lengkap dan harga cukup mahal.
Sementara itu menurut Kotler dan Fox dalam Rambat (2001: 126) dalam Eti Rochaety dkk (2010: 104) bahwa karakteristik dari jasa lembaga pendidikan antara lain sebagai berikut:
1)    lembaga pendidikan termasuk jasa murni (pure service),
2)    jasa yang diberikan lembaga pendidikan membutuhkan kehadiran pengguna jasa (siswa),
3)    penerima jasa pendidikan adalah orang (people),  jadi merupakan pemberian jasa yang berbasis orang, dan
4)    hubungan antara lembaga pendidikan dengan pelanggan adalah berdasarkan member relationship, yaitu pelanggan telah menjadi anggota lembaga pendidikan tersebut.
Dalam dunia pendidikan fokus pelanggan  dalam kaitannya dengan implementasi total quality management (TQM) dapat dimaknai, bahwa semua proses dan mekanisme yang dilakukan oleh lembaga pendidikan adalah semata-mata dalam rangka melayani dan memuaskan pelanggan sesuai dengan tujuan dari lembaga pendidikan tersebut. Sementara itu tujuan dari lembaga pendidikan telah ditetapkan sebelumnya oleh pelangga sendiri melalui pemerintah atau negara. Jadi dalam konteks lembaga pendidikan kepentingan pelanggan telah diwakilkan kepada negara. Dengan demikian isi dari seluruh aktifitas lembaga pendidikan yang disebut sebagai “kurikulum” itu disusun oleh negara yang bertindak atas nama pelanggan, yaitu siswa dan masyarakat secara umum. Dalam seluruh prosesnya lembaga pendidikan harus berpatokan pada “kurikulum” yang telah ditepkan oleh pemerintah/negara.
Namun demikian dalam konteks pelaksanaan teknisnya di lapangan, lembaga pendidikan dalam memberilakan layanan jasa pendidikan harus mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh pelanggan pendidikan yang secara langsung menerima jasa pendidikan tersebut, yaitu siswa/mahasiswa. Sehingga siswa/mahasiswa memiliki persepsi yang positif atau merasakan kepuasan terhadap pelayanan yang diterima dari lembaga pendidikan. Dengan demikian  maka lembaga pendidikan akan dianggap oleh pelanggan sebagai lembaga pendidikan yang bermutu.
Selain itu dalam rangka menjadikan lembaga pendidikan menjadi lembaga yang bermutu, menurut konsep TQM juga harus memperhatikan atau fokus juga kepada pelanggan internal organisasi. Hal ini mengandung maksud bahwa, dalam lembaga pendidikan semua personil yang bekerja pada dasarnya memiliki pelanggan internal yang dilayani dan diberi kepuasan. Misalnya: wakil kepala sekolah bagian sarana merupakan pelanggan utama dari staf tata usaha bagian sarana, guru merupakan pelanggan utama dari wakasek kurikulum untuk produk jadwal KBM, dan lain-lain. Oleh karena itu kualitas pekerjaan yang dilakukan oleh personil pengelola lembaga pendidikan  sangat ditentukan oleh tingkat kepuasan dari personil lain yang dilayaninya. Sebagai contoh: produk pekerjaan dari wakasek kurikulum dikatakan bermutu/berkualitas jika produk pekerjaannya dapat memuaskan kepala sekolah atau guru yang berkepentingan dengan jasa pekerjaannya. Contoh lain seorang staf tata usaha bagian perlengakap, akan dikatakan memiliki kualitas pekerjaan yang tinggi jika dapat melayani kebutuhan wakasek sarana atau guru tentang informasi dan data tentang peralatan atau sarana yang ada di sekolah tersebut.
Kesimpulannya dalam mewujudkan konsep TQM, maka lembaga pendidikan dalam menhasilkan produk yang berupa jasa tersebut  harus dapat memuaskan pelanggan internal (kepala sekolah, guru dan staf) dan juga dapat memuaskan pelanggan eksternal (siswa, orang tua siswa, masyarakat dan pemerintah). Karena mutu lembaga pendidikan menurut konsep TQM ditentukan oleh kepuasan pelanggannya.
Tingkat kepuasan pelanggan terhadap pelayanan jasa lembaga pendidikan dapat diketahui atau diukur. Untuk mengetahui kualitas jasa pendidikan dapat diketahui dengan cara membandingkan persepsi pelanggan  atas  pelayanan yang diperoleh atau diterima secara nyata oleh mereka dengan pelayanan yang sesungguhnya diharapkan. Jika kenyataan lebih dari yang diharapkan, pelayanan dapat dikatakan bermutu. Sebaliknya jika kenyataan kurang dari yang diharapkan, pelayanan dapat dikatakan tidak bermutu. Namun apabila kenyataan sama dengan harapan, maka kualitas pelayanan disebut memuaskan (Eti Rochaety dkk, 2010: 105).

2.    Sekolah  Harus Memiliki Obsesi Terhadap Kualitas.
Tiap orang mesti terlibat dalam transformasi mutu sekolah. Manajemen mesti memiliki komitmen untuk  memfokuskan pada mutu. Manajemen sekolah harus mendorong guru, staf, dan siswa untuk mengubah cara kerja yang selama ini dilakukan. Tanpa adanya komitmen, program TQM di sekolah tidak akan berhasil. Transformasi mutu harus diawali dengan mengadopsi paradigma baru pendidikan. cara pikir dan cara kerja lama harus disingkirkan.
Pada hakekatnya kegiatan suatu lembaga pendidikan misalnya sekolah, dalam melaksanakan roda organisasinya tidak lain adalah merupakan proses melaksanakan kumpulan dari aktifitas sekian banyak program-program yang telah disusun. Dalam konteks ini seluruh komponen (personil) dalam sekolah tersebut harus memiliki komitmen agar semua program yang dijalankan di sekolah tersebut harus bermutu tinggi, artinya dapat memuaskan pelanggan dari program itu.
Salah satu bentuk bahwa sekolah memiliki obsesi terhadap mutu dalam melaksanakan proses pendidikan adalah dengan menetapkan standar mutu terhadap seluruh pelaksanaan program kegiatan di sekolah. Penetapan standar kegiatan program ini, selain berdasarkan pada peraturan pemerintah juga berdasarkan keputusan bersama antara sekolah dengan pelanggan sekolah (siswa dan komite sekolah). Misalnya ketika sekolah melaksanakan program ujian semester, maka sekolah harus menetapkan standar kerja yang didasarkan pada peraturan pemerintah yang ada (standar pengelolaan) dan juga  atas kesepakatan dengan pelanggan internal maupun eksternal. Semua warga sekolah harus berusaha secara bersama-sama untuk mensukseskan pelaksanaan progran ujian semester tersebut. Demikian juga dengan pelaksanaan program-program yang lainnya, maka sekolah tersebut harus dapat merencanakannya sesuai dengan standar mutu yang ada.
Selanjutnya untuk memperkuat obsesi sekolah terhadap mutu dari seluruh program yang dilaksanakan oleh sekolah, maka sekolah harus mengembangkan  pola siklus evalusi program. Pola siklus evaluasi program artinya setiap program yang dilaksanakan adalah berasal dari proses perencanaan, kemudian dilaksanakan, dan pada akhirnya dibuatkan laporan hasil pelaksanaannya. Setelah itu maka perlu melakukan evaluasi secara keseluruhan terhadap program tersebut. Hasil evaluasi program tersebut adalah berupa rekomendasi terhadap pimpinan sekolah tentang kualitas program tersebut. Dan hasil evaluasi program ini juga dijadikan dasar perencanaan program yang sama di waktu yang akan datang
3.    Sekolah  Harus Menggunakan Pendekatan Ilmiah dalam Mengambil Keputusan.
Pengambilan keputusan di lembaga pendidikan harus didasarkan pada fakta yang nyata tentang kualitas  yang didapatkan dari berbagai sumber di seluruh jajaran organisasi. Jadi tidak semata-mata atas dasar intuisi, praduga, atau organizatonal politic.
Untuk memenuhi mutu dan tuntutan kinerja dari sekolah, proses manajemen harus didasarkan pada informasi, data dan analisis yang terpercaya. Jenis-jenis data yang diperlukan untuk menilai mutu dan perbaikan mutu di sekolah sangat banyak ragamnya tergantung dari kebutuhan perbaikan yang difokuskan. Perlunya data yang akurat bagi manajemen sekolah, adalah dalam rangka untuk mengambil berbagai keputusan dan kebijakan terhadap berbagai permasalah yang muncul di sekolah.
Dengan demikian bahwa penerapan TQM di sekolah, keberhasilannya juga tergantung dari pada tersedianya data-data dan informasi yang akurat tentang hasil-hasil pelaksanaan dari seluruh program kegiatan sekolah. Diantara data-data yang perlu diperhatikan kekakuratannya yang tersedia di sekolah adalah:
•    Data jumlah siswa
•    Data jumlah guru dan pegawai
•    Data kehadiran guru dan siswa
•    Data kasus guru dan kasus siswa
•    Data seluruh hasil rapat/musyawarah warga sekolah
•    Data hasil penilaian kinerja guru
•     Data hasil ujian siswa
•     Data pendukung kegiatan belajar mengajar
•    Dan lain-lain
Keseluruhan data-data ini harus memenuhi kejujuran atau berdasarkan fakta yang sebenarnya, sehingga pengambilan keputusan oleh pimpinan sekolah betul-betul sesuai fakta dan data yang sebenarnya. Jika  demikian maka implementasi TQM di sekolah tersebut bisa berjalan dengan baik.
Fakta dan data yang akurat akan dapat menunjang berbagai pekerjaan di sekolah seperti penyusunan rencana kerja suatu program, penentuan indikator kinerja, perbaikan prosedur kerja, dan penetapan kondisi mutu sekolah dikaitkan dengan kondisi sekolah lain sebagai pesaing dalam merekrut pelanggan (benchmarking).

4.    Sekolah Harus Memiliki Komitmen Jangka Panjang.
Dalam konsep TQM, untuk merubah sebuah lembaga pendidikan dari “tidak bermutu” menjadi “bermutu” bukanlah proses yang sekali jadi atau berjalan dengan singkat. Akan tetapi merupakan proses perubahan dalam jangka waktu yang relatif lama. Oleh karena itu manajemen lembaga pendidikan dalam merencanakan perubahan mutu kearah yang lebih baik, harus memiliki komitmen jangka panjang. Hampir tidak ada perubahan “budaya mutu” yang bisa dilakukan secara cepat.
Hal ini sesuai dengan konsep “kaizen” bahwa perubahan ke arah mutu harus sedikit demi sedikit (step by step improvement). Menurut Edward Sallis (2015: 65) filosofi TQM memang berskala besar, inspirasional dan menyeluruh, tetapi implementasi praktisnya justru berskala kecil, sangat praktis, dan berkembang. Intervensi drastis tidak sesuai dengan semangat perubahan yang ada dalam TQM. Skema yang muluk-muluk tidak akan menimbulkan kemajuan karena hal demikian sering terjebak pada kurangnya sumber daya. Buntunya sumber daya bisa mengakibatkan sinisme dan ketidakpuasan. Dengan demikian adanya komitmen jangka panjang lembaga pendidikan akan bisa menjamin penerapan konsep manajemen mutu terpadau atau total quality manajemen dapat berjalan dengan baik, dan tidak menimbulkan kegoncangan organisasi.
 Dalam aplikasinya di lembaga pendidikan disekolah misalanya; jika pimpinan sekolah ingin menjadikan semua guru agar memilki kompetensi mengajar yang berkualitas maka kepala sekolah terlebih dahulu haru menyusun sebuah program peningkatan kompetensi mengajar guru, kemudian menyampaikan dan meyakinkan kepada guru tentang pentingnya program tersebut bagi mutu sekolah agar dapat disetujui bersama, kemudian ditetapkanlah rencana selanjutnya (seperti teknik pelaksanaan, biaya, waktu, bahkan evaluasi hasil program dll). Ini artinya bahwa program sekolah untuk meningkatkan kompetensi guru dalam hal kemampuan mengajar, memerlukan waktu yang lama.
Oleh karena itu lembaga pendidikan yang ingin menerapkan TQM, harus memulai perubahan mutunya dengan mengidentifikasi unit-unit kerja yang berskala kecil untuk dijadikan sebagai langkah awal dalam memulai perubahan mutu. Dan perubahan-perubahan yang akan dilakukan harus tahap demi tahap atau selangkah demi selangkah, disesuaikan dengan kondisi serta kemampuan organisasi.
5.    Sekolah Harus Mengutamakan Kerja Sama Tim (Teamwork).
Sebagian besar program yang dilaksanakan di sekolah adalah melibatkan kerja tim untuk melaksanakan, sehingga untuk memulai suatu pelaksanaan program biasanya di sekolah akan dibentuk panitia yang akan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan program tersebut, mulai dari penyusunan rencana kerja sampai pelaporan hasil pelaksanaan program. Misalnya pelaksanaan kegiatan penerimaan siswa baru,  pelaksanaan kegiatan belajar mengajar guru, pelaksanaan kegiatan ujian semester, pelaksanaan kegiatan IMTAQ, dan lain-lain.
 Dalam konsep TQM, keberhasilan pelaksanaan program kerja harus mengandalkan kerja tim (teamwork), karena diyakini hasil kerja tim lebih mantap dan berpengaruh positif terhadap mutu organisasi sekolah dibandingkan dengan kinerja perorangan. Menjurut Tjiptono dan Diana (2003: 165) faktor-faktor yang mendasari perlunya dibentuk tim-tim tertentu dalam suatu program kegiatan dalam organisasi adalah:
•    Pemikiran dari 2 orang atau lebih cenderung lebih baik daripada pemikiran satu orang saja.
•    Konsep sinergi [1+1>2], yaitu bahwa hasil keseluruhan (tim) jauh lebih baik dari pada jumlah timnya (anggota individual).
•    Anggota tim dapat saling mengenal dan saling percaya, sehingga mereka dapat saling membantu.
•    Kerja sama tim dapat menyebabkan komunikasi terbina dengan baik
Selanjutnya menurut Edward Sallis (2015: 160) bahwa  sebuah organisasi yang terlibat dalam TQM akan memperoleh manfaat dengan memiliki tim-tim yang efektif di semua tingkatan. Dalam beberapa sektor pendidikan, tim telah dikembangkan sebagai unit dasar dari penyampaian kurikulum dan dengan demikian pendidikan memiliki sebuah awal yang baik mengingat kerja tim adalah sebuah fakta yang terbukti berhasil. Langkah awal tersebut memungkinkan institusi pendidikan memiliki fondasi yang kuat untuk membangun  TQM.
Untuk membangun kultur TQM yang efektif, lebih lanjut Edward Sallis mengatakan bahwa kerja tim harus difungsikan dalam institusi dan harus mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya dalam situasi-situasi menentukan, seperti ketika harus membuat keputusan dan memecahkan masalah. Kerja tim juga harus ada di semua tingkatan dan harus melibatkan semua guru dan staf.
Selain contoh tim kerja di atas, di sekolah juga terdapat tim kerja untuk program-program yang melibatkan manajemen puncak atau pimpinan, misalnya tim pengemban kurikulum, tim penilai kinerja guru, tim supervisi sekolah, dll. Ini semua tidak lain adalah bentuk pentingnya kinerja tim dalam meningkatkan mutu sekolah. Dan hal ini ternyata sangat mendukung implementasi TQM di sekolah.
6.    Sekolah Harus Melakukan Perbaikan Sistim Secara Berkesinambungan.
Menurut Arcaro (2007: 13) pendidikan mesti dipandang sebagai sebuah sistem. Ini merupakan konsep yang sedikit sulit dipahami para profesional pendidikan. Umumnya, orang yang bekerja dalam bidang pendidikan memulai perbaikan sistem tanpa mengembangkan pemahaman yang penuh pada cara sistem tersebut bekerja. Hanya dengan dengan memandang pendidikan sebagai sebuah sistem maka para profesional pendidikan dapat memperbaiki mutu setiap proses pendidikan.
Dalam kontek di sekolah, bahwa jika kita ingin memperbaiki suatu sistem kerja maka harus dipahami bahwa perubahan dalam satu sistem akan bisa mempengaruhi sistem yang lain. Oleh karena itu setiap perubahan sistem kerja di sekolah harus disertai dengan pemahaman yang mendalam tentang mekanisme  kerja dari sistem yang diperbaiki tersebut. 
Misalnya kepala sekolah ingin memperbaiki sistim kerja dari wali kelas, agar dapat mengelola ruang kelas menjadi lebih bersih, rapi dan indah. Hal ini akan bisa berpengaruh pada, rencana anggaran, tatatertib siswa di kelas, kebiasaan guru ketika masuk kelas, serta program pemeliharaan kelas oleh wakasek sarana.
TQM dalam lembaga pendidikan akan menjadikan suatu gagasan sebagai sebuah filosofi bahwa perubahan terus menerus hanya dapat dicapai oleh dan melalui orang. TQM sebagai sebuah pendekatan yang menjamin perubahan terus menerus  (permanen) pada fokus sekolah dari kebijakan jangka pendek ke jangka panjang. Inovasi, perbaikan, dan perubahan yang terus-menerus (konstan) menjadi perhatian sekolah dan menjadikannya sebagai lingkaran kegiatan perbaikan secara terus-menerus. Untuk mengembangkan budaya perbaikan terus menerus, tugas pertama kepala sekolah adalah memberikan kepercayaan kepada warga sekolahnya  dan mendelegasikan kewenangan pada level yang sesuai agar stafnya turut bertanggung jawab terhadap peningkatan mutu.
Perbaikan berkesinambungan berkaitan dengan kualitas (continuous quality improvement) dan proses (continuous process improvement). Proses perbaikan berkesinambungan dapat dilakukan berdasarkan siklus PDCA (Plan, Do, Check, Action).  Dan dalam pendidkkan, upaya perbaikan kualitas secara berkesinambungan harus menggunakan pendekatan sistem terbuka atau fungsi proses belajar mengajar.
Perbaikan terus menerus ini sesuai dengan konsep “kaizen”, yang bisa diterjemahkan sebagai perbaikan sedikit demi sedikit, tetapi terus menerus. Esensi “kaizen” adalah memperbaiki yang kecil-kecil dan yang mudah-mudah  dahulu, untuk mendapatkan keberhasilan. Dengan keberhasilan timbul rasa percaya diri untuk memperbaiki yang besar-besar. Cara kaizen ini mendukung pendapat Juran bahwa untuk menyelesaikan proyek besar harus dimulai dengan ukuran-ukuran yang kecil. Artinya, untuk menyelesaikan proyek besar , maka proyek tersebut harus dipecah-pecah menjadi proyek yang kecil-kecil.
7.    Sekolah Harus Mengadakan Pendidikan dan Pelatihan Bagi Pengelola Organisasi.
Dalam lembaga pendidikan proses perbaikan secara terus menerus terhadap sistem kerja maupun mutu produk jasa pendidikan, tidak mungkin bisa terwujud tanpa adanya perbaikan secara kontinyu terhadap kompetensi sumber daya manusia (SDM) yang ada. Oleh karena itu program pendidikan dan pelatihan SDM merupakan hal yang sangat urgen dalam lembaga pendidikan yang menerapkan total quality management (TQM).
Sasaran pendidikan dan latihan dalam rangka peningkatan kualitas SDM pada lembaga pendidikan mencakup seluruh komponen organisasi, mulai dari personil manajemen puncak (kepala skolah) sampai dengan personil manajemen rendah (guru dan staf). Artinya perbaikan mutu SDM harus mencakup seluruh personil yang terlibat dalam organisasi, karena untuk mewujudkan budaya mutu di lembaga pendidikan harus merupakan hasil budaya mutu dari seluruh komponen dalam perusahaan.
Dilihat dari pelaksana kegiatan diklat, maka diklat yang biasa diikuti oleh pengelola lembaga pendidika seperti sekolah, meliputi: diklat yang dilaksanakan sendiri oleh sekolah dan diklat yang dilaksanakan oleh puhak lain di luar sekolah. Namun demikian apapun jenis diklat yang dilakukan, maka institusi pendidikan yang mengimlementasikan TQM harus menjadikan program diklat sebagai bagian dari program perencanaan strategis sekolah. Hal ini penting artinya karena tanpa kegiatan diklat maka mustahil dapat meninkatkan mutu kinerja sekolah secara terus menerus.
Selanjutnya pendidikan dan pelatihan yang akan diikuti oleh guru/pegawai sekolah harus memperhatikan kebutuhan riil dari personil. Artinya jangan sampai personil yang dilatih salah sasaran, sehingga tidak membawa dampak terhadap perubahan kualitas pekerjaannya. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam pendidikan dan pelatihan adalah tingkat kemampuan personil yang dilatih. Hal ini perlu diperhatikan agar materi pelatihan dapat diserap oleh peserta pelatihan sesuai dengan standar kemampuannya masing-masing (agar lebih efektif).
Dalam lembaga pendidikan yang menerapkan TQM,  pendidikan dan pelatihan merupakan faktor yang fundamental. Setiap tenaga pengelola pendidikan  diharapkan dan didorong untuk terus belajar. Dalam hal ini berlaku prinsip bahwa belajar merupakan proses  yang tidak ada akhirnya dan tidak mengenal batas usia. Dengan belajar setiap orang dalam lembaga pendidikan dapat meningkat ketrampilan teknis dan keahlian profesionalnya.
8.    Sekolah  Mengembangkan ”Kebebasan” yang Terkendali.
Pengendalian dalam pengertian TQM adalah pengendalian manusia terhadap metode  dan proses kerja. Dalam institusi pendidikan yang menerapkan TQM,  keterlibaran dan pemberdayaan guru/staf administrasi  dalam pengambilan keputusan dan pemecahan masalah merupakan unsur yang sangat penting. Hal ini dikarenakan unsur tersebut dapat meningkatkan “rasa memiliki” dan “rasa tanggung jawab” terhadap keputusan yang telah dibuat. Selain itu unsur ini juga dapat memperkaya wawasan dan pandangan dalam suatu keputusan yang diambil, karena pihak yang terlibat lebih banyak.
Meskipun demikian, kebebasan yang timbul karena keterlibatan dan pemberdayaan tersebut merupakan hasil dari pengendalian yang terencana dan terlaksana dengan baik. Pengendalian itu sendiri dilakukan terhadap metode-metode pelaksanaan setiap proses tertentu. Dalam hal ini guru/staf yang melakukan standarisasi proses dan mereka pula yang berusaha mencari cara untuk meyakinkan setiap orang agar bersedia mengikuti prosedur standar tersebut.
Konsep kebebasan yang terkendali dalam implementasi TQM ini, didasari oleh suatu pemahaman bahwa dalam institusi pendidikan yang menerapkan TQM setiap personil pada hakekatnya merupakan manajer bagi pekerjaannya masing-masing. Artinya setiap orang diberikan kebebasan sepenuhnya untuk menyelesaikan pekerjaannya dengan sebaik-baiknya, tanpa dipengaruhi oleh pihak lain, termasuk oleh pimpinan sekolah.
Aplikasinya di sekolah dapat ditemui pada pemberian kebebasan kepada setiap guru untuk menyusun program pengajaran, dan melaksanakan program pengajaran sesuai dengan keinginannya dan mempertanggung jawabkan pada waktunya (tentunya didasarkan pola  KBM yang standar). Tidak berarti bahwa pemberian kebebasan yang dimaksud lalu melaksanakan pekerjaannya itu tidak sesuai dengan standar yang ada. Jadi diberi kebebasan menyelesaikan tugas yang diberikan, tetai tetap dalam kendali etika profesional yang ada.
Dengan demikian maka semua guru/staf menjadi lebih bertanggung jawab terhadap pekerjaannya. Manajemen puncak dan menengah di sekolah hanya bertindak sebagai pemberi dukungan dan wewenang kepada para guru/staf, bukan mengontrol mereka. Sehingga manajemen sekolahakan menjelma menjadi sebuah “energi” bersama yang menjamin terciptanya proses mutu pada setiap lini organisasi, karena adanya kebebasan yang telah diberikan kepada setiap karyawan dalam mengimplementasikan keputusan dan kebijakan organisasi yang telah disepakati bersama.
9.    Seluruh Komponen Sekolah Harus Memiliki Kesatuan Tujuan.
Sekolah yang akan menerapkan TQM, maka seluruh komponen yang ada dalam organisasi harus memiliki kesatuan tujuan. Dengan demikian setiap usaha dapat diarahkan pada tujuan yang sama. Artinya pimpinan, guru, dan seluruh staf di lembaga pendidikan harus memiliki program kerja dalam rangka untuk menuju pada satu tujuan awal organisai (yang berlandaskan TQM) yaitu menhasil produk jasa pendidika yang memenuhi keinginan pelanggan sekolah.
Mekanisme kerja dengan kesatuan tujuan ini, di sekolah bukanlah hal yang baru. Karena program sekolah dan program kerja kepala sekolah yang telah disusun akan dijadikan sebagai dasar bagi manajemen di bawahnya untuk membuat rencana program kerja. Artinya program kerja guru dan seluruh staf, isinya adalah merupakan pengejawantahan dari isi program sekolah dan kepala sekolah. Dengan demikian maka tidak mungkin program kerja guru dan program kerja staf  berbeda tujuan dengan program kerja kepala sekolah.
Namun demikian yang dimasud dengan konsep TQM bahwa sebuah organisasi harus memiliki kesatuan tujuan diantara seluruh personilnya, bisa jadi dimaknai sebagai kesatuan semangat dan motivasi dalam rangka mencapai tujuan yang diinginkan. Jika ini yang dimaksud maka, eran pemimpin sangat penting untuk memberikan pengaruhnya kepada seluruh bawahan agar dapat bekerja maksimal untuk menjapai tujuan di masing-masing bidang pekerjaannya. 
10.    Sekolah Harus Menjamin  Keterlibatan dan Pemberdayaan Guru dan Staf.
Aspek penting dari peran kepemimpinan dalam pendidikan adalah memberdayakan guru dan memberi mereka wewenang yang luas untuk meningkatkan pembelajaran kepada para siswa.
 Para guru diberi wewenang untuk mengambil keputusan  sehingga mereka memiliki tanggung jawab yang besar. Mereka diberi keleluasaan dan otonomi untuk bertindak. Menurut Spanbauer (dalam Edward Sallis, 2015: 157-158) bahwa terkait dengan pemimpin institusi pendidikan bagi pemberdayaan, para pemimpin harus melakukan hal sebaagai berikut:
  • Melibatkan para guru dan seluruh staf dalam aktifitas penyelesaian masalah, dengan menggunakan metode ilmiah dasar, prinsip-prinsip mutu statistik dan kontrol proses.
  • Memilih untuk meminta pendapat mereka tentang berbagai hal dan tentang bagaimana cara mereka menjalankan program.
  • Menyampaikan sebanyak mungkin informasi manajemen untuk membantu pengembangan dan peningkatan komitmen mereka.
  • Menanyakan pendapat para staf tentang hal-hal yang menghambat  penyapaian mutu kepada para pelanggan (siswa, orang tua dan masyarakat).
  • Memahami bahwa keinginan meningkatkan mutu para guru tidak sesuai dengan manajemen top-down.
  • Memindahkan tanggung jawab dan kontrol pengembangan tenaga profesional langsung kepada guru dan pekerja teknis
  • Memberikan teladan yang baik.
  • Belajar untuk berperan sebagai pelatih dan bukan sebagai bos.
  • Memberikan otonomi dan berani mengambil resiko.
  • Memberikan perhatian yang berimbang dalam menyediakan mutu bagi para pelanggan eksternal dan kepada pelanggan internal.

D.    Perbedaan Penerapan TQM di Institusi Bisnis dengan Institusi Pendidikan (Sekolah)
Dari uraian tentang penerapan TQM pada institusi industri atau perusahan dan penerapan TQM pada institusi pendidikan di atas, maka dapat kami diambil beberapa poin penting tentang perbedaan antara penerapan TQM di industri dengan penerapan TQM di pendidikan, yaitu:
  1. Perbedaan dari segi produk yang dihasilkan. Pada institusi bisnis produk yang dihasilakanumumnya adalah berupa barang dan juga berupa jasa, artinya bahwa tujuan dari proses produksinya adalah menghasilkan produk berupapa barang atau produk berupa jasa pelayanan. Pada institusi pendidikan atau sekolah produk yang dihasilkan adalah murni berupa jasa, yaitu jasa pelayanan terhadap kebutuhan yang mendukung seluruh proses pendidikan siswa/mahasiswa, dan jasa pelayanan yang diberikan sangat rumit dan berlangsung dalam satuan waktu yang relatif lama. Walaupun juga ada yang berpendapat bahwa produk yang dihasilkan oleh institusi pendidikan adalah berupa kualitas dari kompetensi siswa/mahasiswa menurut persepsi pengguna/pelanggan akhir dari siswa/mahasiswa tersebut.
  2. Perbedaan dalam hal pelanggan Pada institusi bisnis, pelanggannya lebih sederhana yaitu terdiri dari pelanggan internal (manajer dan para staf) dan pelanggan eksternal yang meliputi orang yang mengimput bahan baku dan orang yang menjadi pengguna barang atau jasa. Pada institusi pendidikan atau sekolah, pelanggannya lebih rumit yaitu: pelanggan eksternal terdiri dari pelanggan utama (siswa), pelanggan kedua adalah orang tua, gubernur atau sponsor yang memilki kepentingan langsung secara individu maupun institusi, dan pelanggan ketiga yaitu pihak yang memiliki peran penting, meski tak langsung yaitu pemerintah dan masyarakat secara keseluruhan. Sedangkan pelanggan internal relatif sama dengan pada institusi bisnis yaitu pimpinan, guru, dan para staf.
  3. Perbedaan dalam hal standarisasi mutu produk. Standarisasi produk pada perusahaan bisnis, murni dikonstruksi oleh “manajemen” perusahaan berdasarkan riset terhadap tuntutan kepuasan pelanggannya. Sedangkan standarisasi produk jasa pelayanan pada institusi pendidikan lebih rumit, karena ditentukan oleh politik pemerintah yaitu melalui produk perundang-undangan dan peraturan lainnya. Walaupun ada dalam hal-hal yang tehnis ditentukan sendiri oleh” manajemen” institusi pendidikan, tetapi terbatas.
  4. Perbedaan dalam hal otoritas riset kebutuhan pelanggan dan revisi disain produk. Pada perusahaan bisnis, otoritas dalam hal riset terhadap kebutuhan dan tuntutan pelanggan murni dilakukan langsung oleh “manajemen” perusahaan secara langsung, sehingga langsung dapat melakukan revisi terhadap disain produk yang akan diproduksi. Artinya pada institusi bisnis, proses perbaikan mutu yang berlangsung secara dalam siklus (PDCA) yang terus menerus itu, langsung ditengani oleh manajemen prusahaan. Sedangkan pada institusi pendidikan, otoritas riset terhadap kebutuhan pelanggan dan revisi terhadap disain produk yang dihasilkan, tidak dilakukan oleh manajemen sekolah secara langsung, akan tetapi dilakukan oleh pemerintah (tergantung politik pemerintah).
  5. Perbedaan dalam hal proses mutu dalam organisasi. Dalam perusahaan bisnis produk barang dan jasa dikatakan bermutu/berkualitas, sangat tergantung dari penilaian dan tuntutan pelanggan. Dan itulah yang akan dilakukan oleh perusahaan. Sedangkan pada institusi pendidikan/sekolah, kualitas jasa pelayanan yang disuguhkan, dipengaruhi juga oleh kesiapan dari pelanggan dalam hal ini siswa yang menjalani proses pendidikan tersebut. Artinya bahwa mutu pelayanan pada institusi sekolah tidak akan ada artinya jika kondisi siswa tidak siap menjalani proses “jasa” pendidikan yang disediakan.
  6. Satuan waktu pelayanan jasa. Dalam organisasi bisnis, terutama yang menghasilkan produk berupa jasa pelayanannya berlangsung dalam satuan waktu yang relatif pendek. Misalnya: pelayanan dalam perusahaan perhotelan mungkin hanya berlangsung sehari, atau paling lama sebulan. Sedangkan pada organisasi pendidikan (sekolah), harus melaksanakan jasa pelayanan dalam satuan waktu yang relatif lama, yaitu satuan waktu yang dilewati oleh siswa/mahasiswa selama mengikuti pendidikan itu. Dan ini memerlukan daya tahan dan konsistensi pengelolaan manajemen yang tinggi.
  7. Perbedaan dalam hal kepuasan pelanggan. Pada perusahaan bisnis, kepuasan pelanggan dapat langsung dideteksi pada saat menggunakan produk atau setelah selesai merasakan pelayanan jasa. Sedangkan kepuasan pelanggan dalam institusi pendidikan; terutama siswa, bisa jadi akan berkembang secara dinamis seiring dengan waktu dan pemahamannya selama menjalani proses pendidikan Artinya bisa jadi, siswa pada awalnya karena belum memahami menganggap kualitas pelayanan pendidikan kurang bermutu, namun setelah melewati beberapa proses sehingga dapat memahami tentang mutu pelayanan pendidikan tersebut.
  8. Mewujudkan konsep “zero defect”. Pada perusahaan bisnis yang menhasil kan produk berupa barang, mewujudkan produk yang “zero defect” lebih mudah dilakukan, sedangkan pada lembaga pendidikan yang menghasilkan produk berupa “murni jasa’ akan sangat sulit mewujudkan produk tanpa cacat “zero defect”.
  9. Hubungan dengan pelanggan. Hubungan antara lembaga pendidikan dengan pelanggan  adalah berdasarkan member lelationship, yaitu pelanggan telah menjadi anggota lembaga pendidikan tersebut, sistim pemberian jasanya secara terus menerus dan teratur sesuai dengan kurikulu m yang telah ditetapkan. Sedangkan pada perusahaan bisnis tidak demikian.

E.    Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah disampaikan diatas, maka diakhir tulisan ini dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut, yautu:
  1. Menurut Vincent Gaspersz pada dasarnya Manajemen Kualitas (Qualiti Management) atau Manajemen Kualitas Terpadu (Total Quality Management=TQM) didefinisikan sebagai suatu cara meni ngkatkan performansi secara terus menerus (continuous performance improvement) pada setiap level operasi atau proses, dalam setiap area fungsional dari suatu organisasi, dengan menggunakan semua sumber daya manusia dan modal yang tersedia.
  2. TQM pada perusahaan merupakan suatu konsep manajemen modern yang berusaha untuk memberikan respon secara tepat terhadap adanya dinamika perubahan yang dialami suatu organisasi. TQM  juga merupakan tantangan terhadap teori manajemen tradisional yang menekankan tujuan perusahaan pada usaha memaksimalkan laba atau memaksimalkan kemakmuran para pemilik. Sedangkan TQM lebih fokus pada tujuan perusahaan untuk melayani kebutuhan pelanggan  dengan memasok barang dan jasa yang memiliki kualitas setinggi mungkin.
  3. Sistem manajemen mutu terpadu atau TQM pendidikan adalah suatu sistim manajemen yang mengarah dan mengendalikan satuan pendidikan dengan penetapan kebijakan , sasaran, rencana, dan proses/prosedur mutu, serta pencapaiannya secara berkelanjutan (continuous improfment). sasaran yang diharapkan dengan penerapan manajemen mutu terpadu atau TQM dalam pendidikan adalah meningkatkan mutu layanan, memperbaiki produktifitas dan efisiensi melalui perbaikan kinerja, serta meningkatkan mutu proses pendidikan sehingga dapat menghasilkan lulusan yang memuaskan atau memenuhi kebutuhan stakeholders.
  4. Perbedaan antara penerepan TQM di institusi bisnis dengan di institusi sekolah adalah terkait dengan, antara lain: Perbedaan dari segi produk yang dihasilkan, Perbedaan dalam hal pelanggan, Perbedaan dalam hal standarisasi produk, Perbedaan dalam hal otoritas riset kebutuhan pelanggan dan revisi disain produk, Perbedaan dalam hal proses mutu dalam organisasi, Satuan waktu pelayanan jasa dan Perbedaan dalam hal kepuasan pelanggan.


DAFTAR PUSTAKA

  1. Usman, Husaini. 2009. Manajemen; Teori, Praktek, dan Riset Pendidikan - Edisi 3. Cetakan pertama. Jakarta: Bumi Aksara.
  2. Soegito, A.T. 2011. Total Quality Management (TQM) di Perguruan Tinggi. Semarang: UPT UNNES Press.
  3. Sallis, Edward. 2015. Total Quality Management; model, teknik, dan implementasi. Cetakan pertama. Yogyakarta: IRCiSoD.
  4. Gasperrsz, Vincent. 2002. Total Quality Management. Cetakan kedua. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
  5. Tjiptono, F. Dan Diana, A. 2003. Total Quality Management (TQM)-Edisi Revisi. Yogyakarta: C.V. ANDI AFFSET.
  6. Abdullah Sani, Ridwan., dkk. 2015. Penjamin Mutu Sekolah. Cetakan pertama. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
  7. Rochaety, Eti dkk. 2010. Sistim Informasi Manajemen Pendidikan. Cetakan keempat. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
  8. S. Arcaro, Jerome. 2007. Pendidikan Berbasis Mutu: Prinsip-prinsip Perumusan dan Tata Langkah Penerapan. Cetakan IV. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR.
  9. S. Bateman, Thomas. & A. Snell. 2014. Manajemen: Kepemimpinan dan Kerja Sama dalam Dunia yang Kompetitif. Edisi 10 – Buku 1. Jakarta: Salemba Empat.
  10. Akhyar, Yundri. 2014. Total Quality Management (manajemen mutu terpadu). Jurnal Potensia Vol.13 Edisi 1 Januari-Juni 2014.
  11. Al Faritsy, A.Z. dan Suseno. 2014. Penerapan TQM (Total Quality Management) dalam Meningkatkan Kinerja Perusahaan UMKM. Jurnal Studi Manajemen, Vol. 8, No. 2, Oktober 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar